Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Raji, Berjuang Melawan Titik Nadir Perajin Kompor...

Kompas.com - 04/02/2015, 08:42 WIB
Kontributor KompasTV, Muhamad Syahri Romdhon

Penulis

CIREBON, KOMPAS.com — Pada saat sebagian orang baru terbangun dari tidur, Raji (55), warga Desa Serang, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon, sudah harus memeras keringat. Sejak matahari menampakkan diri, dia harus menyiapkan banyak karet untuk bahan membakar drum kaleng besar.

Tumpukan drum kaleng besar bekas minyak goreng, yang ia beli dari pasar, terlebih dahulu harus dibakar. Pembakaran dimaksudkan untuk menghilangkan warna cat dan minyak yang tersisa di dinding dan dasar kaleng.

Raji pun melawan dingin dengan panasnya api yang besar. Ia membutuhkan waktu sekitar 20 hingga 30 menit untuk menghilangkan minyak dan mengelupas cat. Setelah itu, Raji kembali harus menyiapkan tenaga dan memasang telinga kuat-kuat. Drum kaleng yang sudah dibakar harus dipecah dan diratakan. Tak ada mesin atau alat praktis.

Ia menggunakan palu dan kapak untuk dapat memecah ketebalan kaleng drum hingga menghasilkan bunyi yang cukup keras. Kaleng yang rata kemudian dipotong dan digunting sesuai ukuran masing-masing bagian yang dibutuhkan, antara lain, bak minyak tanah, kerangka sumbu kompor, tutup kompor, dan lain sebagainya.

Meski terlihat sederhana, pembuatan kompor tradisional minyak tanah ini sangat membutuhkan tenaga dan waktu yang cukup lama. Pada umumnya, satu orang dapat menghasilkan tiga hingga lima buah kompor dalam sehari.

"Untuk pembakaran saja, dibutuhkan waktu sekitar satu jam, kemudian perataan, pengukuran, dan pemotongan sekitar dua jam. Jadi, selepas zhuhur baru mulai merangkai satu per satu bagian," kata Raji saat ditemui di rumah produksinya, beberapa waktu lalu.

Pada usianya yang semakin senja, Raji menyadari usaha pembuatan kompor minyak tanahnya sudah berada di titik nadir. Kompor yang dahulu menjadi kebutuhan utama dapur kini sudah tergantikan oleh kompor gas.

Suami dari Aerah (50) ini menceritakan, Kampung Serang adalah kampung perajin kompor minyak tanah di Kabupaten Cirebon. Saat itu, terdapat lebih dari 20 kelompok pembuat kompor. Mereka pemasok ribuan kompor di Jawa Barat, Jakarta, dan sekitarnya. Namun, kejayaan itu perlahan sirna dan bahkan menunggu kehancuran.

"Tahun 2004 saja saya masih dibantu pekerja sekitar dua hingga tiga orang. Satu hari dapat menyelesaikan sekitar satu kodi. Setiap satu minggu dapat mengirimkan tujuh kodi. Itu hampir sama dilakukan 20 kelompok perajin kompor di desa ini. Tapi, saat ini, satu hari dapat tiga buah saja sudah payah," keluh dia.

Bapak yang dikaruniai dua anak ini, bersama warga sekitarnya, juga sudah tak lagi berharap pada pemerintah. Janji pemberian solusi imbas konversi minyak tanah ke elpiji pada Mei 2007 silam tak kunjung terealisasi. Akhirnya, lebih dari 20 kelompok perajin kompor di desa ini gulung tikar.

Dengan kondisi itu, Raji masih tetap membuat kompor. Uang Rp 40.000 yang ia jual dari satu buah kompornya hanya dapat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seadanya.

Meski demikian, Raji bangga lantaran dapat melestarikan usaha warisan leluhurnya. "Saya membuat kompor ini sejak kecil, dewasa, dan hingga sekarang sudah tua. Bapak saya pembuat kompor, begitu juga kakek. Jadi, saya harus mempertahankannya," kata pria yang rambutnya telah memutih dan menjadi satu-satunya perajin kompor yang tersisa di Kabupaten Cirebon.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com