Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bramantyo Prijosusilo, Dalang Perkawinan Mbah Kodok

Kompas.com - 17/10/2014, 19:52 WIB
Jodhi Yudono

Penulis

Acara seni kejadian atau happening art bertajuk “Bagus Kodok Ibnu Sukodok Daup Peri Roro Setyowati” karya Bramantyo Prijosusilo yang digelar pada Rabu, 8 Oktober 2014, memang sudah berlalu. Tapi, pembicaraan tentangnya masih ramai di media sosial. Maklumlah, sebagai sebuah gagasan, karya Bram itu memang cukup mengejutkan. Di saat orang sibuk dengan politik, di saat sebagian orang bicara tentang materialistik, Bram justru menggelar acara yang mengajak orang untuk kembali ke rumah, ke akar budaya kita yang menempatkan budi pekerti sebagai panglima.

Perkawinan Bagus Kodok Ibnu Sukodok dengan Peri Setyowati yang notabene adalah makhluk tak kasat mata tentu peristiwa yang tak masuk nalar, melengkapi "kegilaan" karya-karya Bram sebelumnya, seperti yang pernah digelarnya yang berjudul "Membanting Macan Kerah".

Pada aksinya itu, Bramantyo Prijosusilo gagal menggelar aksi tunggal di depan Markas Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) di Kotagede, Yogyakarta. Belum sempat memulai aksinya, Bramantyo sudah ditarik dan dilawan oleh puluhan anggota laskar MMI. Tarik-menarik dan saling dorong antara polisi dan laskar pun terjadi.

Aksi tunggal yang dilakukan Bramantyo itu bertema “Melawan Radikalisme Agama dengan Seni Atas Nama Pribadi”. Dia melakukan aksinya di depan markas MMI, Jalan Karanglo, Kotagede, Rabu (15/2/2012).

Aksi diawali dari depan kompleks makam Kotagede yang berjarak sekitar 500 meter dari kantor MMI. Dia mengenakan pakaian Jawa motif lurik warna coklat, ikat kepala/udheng, serta membawa sebuah kendi berisi air bunga/kembang macan kerah. Bramantyo menaiki kereta kuda/andong menuju lokasi.

Kini Bram menetap di Ngawi, Jawa Timur, sebagai seorang petani dengan lahan seluar 7 hektar yang ditanami tumbuhan organik, seperti padi, jamu-jamuan, dan buah-buahan.

Di luar pekerjaannya sebagai petani, mantan wartawan BBC London itu juga gemar menulis opini dan pemikirannya di media massa ataupun untuk konsumsi pribadi. Bramantyo juga mencintai puisi sejak SMP. "Saya juga banyak menulis opini di media massa, tentang masalah sosial, politik, dan budaya," kata pria kelahiran 9 Agustus 1965.

Berikut adalah petikan wawancara Kompas.com dengan Bramantyo Prijosusilo.

Tanya: Ide acara anda bermula dari apa?

Bram: Ide acara bermula dari urgensi berkarya sebagai tanggungjawab kesenimananku. Dari obrolan dengan Mbah Kodok, istriku, Dudy Anggawi dan saya beberapa tahun lalu. Menanggapi keinginan Mbah Kodok kawin dengan danyang yang berkomunikasi dengannya. Setyowati ingin kawin di alam manusia sebagai tanda komitmen Mbah Kodok untuk tidak seperti orang lain (Jaka Tarub, Danang Sutawijaya dsb) hanya menggauli mahluk halus untuk materi dan kekuasaan. Mbah Kodok bertanya, apakah mungkin ? Saya jawab, mungkin, dengan cara, aku membuatnya sebagai happening art, seni kejadian. Itu frame-nya, dan kejadiannya sendiri Mbah Kodok Daup Setyowati. Maka ide itu aku gulirkan di FB dan mulai dapat dukungan. Terkumpul "pledge" atawa janji urunan, sebesar 17.5 juta rupiah. Kemudian pileg, pilpres dsb menyita perhatian hingga awal September kemarin Zen Zulkarnaen (produser acara) meyakinkan saya kita mampu. Maka saya mulai nagihi janji dan mengumpulkan uang dan kita kumbakarnan di Solo dan di Sekaralas, melibatkan komunitas.

Tanya: Berapa orang yang dikerahkan dan berapa banyak duit yang dianggarkan untuk mewujudkan acara tersebut?

Bram: Jadi awalnya ini ide 4 orang yang lalu dengan kumbokarnan didukung ratusan orang sehingga akhirnya taksiran parkir mendekati 10 ribu orang datang entah melihat apa. Biaya yang dikeluarkan jauh lebih besar dari yang dianggarkan dan dikumpulkan dari sumbangan dan itu anak istri saya dan Pak Zen yang tanggung. Orang desa yang bekerja di hari H mungkin lebih 100, sebelum hari H 10an setiap hari. Parkir motor dibuat Rp 5000, mobil 10 ribu, lapangan bola dan jalan dan halaman rumah orang penuh. Warung dadakan ngeruk 1.7 juta -an. Semua kalangan datang, paranormal, petani, pelajar, guru, PNS, pejabat, politisi, tentu seniman.

Tanya: Mengapa kemudian ada kalangan yang menganggap karya anda ini sebagai penyimpangan akidah beragama?

Bram: Acara pertama dikenalkan ke masyarakat oleh wartawan daerah yg biasa bikin straight news dan hanya melihat sisi sensasionalnya. Tidak sisi budayanya, tidak pula sisi seninya. Sehingga yang berkembang seakan ini suatu kemusyrikan, suatu persekutuan dengan jinn ato setan, padahal tidak seperti itu. Setyowati bukan seorang jin ato setan. Setyowati adalah seorang danyang, leluhur yang karena ketinggian ilmunya dan ketulusannya tetap hidup dan mendapat rezeki dan syafaat dari sisiNya meski kelihatannya mereka mati. Sebagian bahkan tidak mati melainkan moksa, dan di dalam wacana keislaman mereka lebih tepat disepertikan Nabi, mungkin terkhusus Nabi Khidr, atau juga seperti mursyid dan aulia. Mereka semua telah didiskreditkan seakan mereka jinn, maka itu mereka hadir memberi restu dan menyaksikan prosesi Mbah Kodok rabi peri Setyowati. Karena itu saya dan kami yakin Ratu Kidul, Pangeran Surya Kencana, Brawijaya Pamungkas, Sabda Palon dan Naya Genggong hadir dan kami umumkan hal tersebut di siaran pers dan undangan.

Tanya: Apa perlunya acara ini diadakan?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com