Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sebenarnya, Mbok Siyem Juga Malu Jadi Pengemis...

Kompas.com - 02/07/2014, 15:03 WIB

KEDIRI, KOMPAS.com - Baju kumal dan jarit membungkus tubuhnya. Kerudung biru pudar menutup kepalanya. Lalu sandal menjadi alas kakinya di jalan berdebu. Lengkaplah seragam Mbok Siyem yang sehari-hari memungut ‘uang’ belas kasih.

Perempuan tua itu berasal dari Desa Gedangsewu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Inilah desa yang juga dikenal sebagai kantong pengemis.

Sebenarnya, tidak semua warga di kampung hidup dengan menjadi pengemis. Bahkan mereka yang hidup dengan pekerjaan normal jauh lebih banyak. Tetapi label desa pengemis sudah melekat seiring dengan sejarah pembentukan desa.  

Dalam sejarahnya, desa itu dulu dibentuk pemerintah Kediri untuk menampung warga tunawisma. Pemerintah berharap para tunawisma yang hidup nomaden di pasar, stasiun, atau terminal bisa hidup lebih layak. Meski sudah punya tempat tinggal, kebiasaan mengemis tetap mereka jalankan.

Seperti Mbok Siyem. Umurnya sudah memasuki 70 tahun. Surya bertemu  
awal pekan lalu, saat ia sedang menunggu bus di perempatan jalan desanya.

Dia perlu menumpang bus untuk  membawanya ke Kediri. Di sana dia akan menjalankan kegiatan kesehariannya, berkeliling kampung untuk meminta kepingan receh dari rumah ke rumah.

Di dalam bus, Mbok Siyem perempuan itu sempat tertidur sejenak sambil kedua tangannya terus mendekap tas jinjing berwarna hitam.

Saat terbangun, dia dengan ramah melayani bicara dengan Surya. Namun setelah tahu lawan bicaranya seorang wartawan, perempuan itu sedikit menjaga jarak. Tapi dia tetap berterus terang, dirinya adalah pengemis.

Mbok Siyem sempat bercerita, dalam sehari menghabiskan waktu di jalan antara empat hingga lima jam. Durasi kerja itu jauh lebih singkat dibandingkan sebelum-sebelumnya. Maklum usianya kini sudah jauh lebih renta.

Kaki dan nafasnya pun tak lagi sekuat dulu. Tetapi mau tak mau, penghasilan yang diperolehnya pun berkurang. Usia yang semakin senja juga membuatnya lupa sejak tahun berapa mulai mengemis.

Yang pasti, sudah puluhan tahun pekerjaan itu dia jalani. Bedanya, dulu dia masih bekerja bersama sang suami. Namun setelah sang suami meninggal dunia, jadilah dia sendirian saja menjalani pekerjaan itu.

Mbok Siyem bukannya tak punya anak. Dia mengatakan, seorang putranya kini merantau ke Surabaya dan bekerja serabutan.

“Kalau sedang tidak ada kerjaan, anak saya pulang sebentar,” imbuhnya.

Dari belas kasihan orang-orang yang dijumpainya, selama sehari, paling bagus Siyem bisa menghimpun uang antara Rp 25.000 hingga Rp 30.000.

Baginya, uang itu sudah cukup untuk makan sehari-hari. Apalagi, untuk sekali makan di warung saja, paling banter hanya menghabiskan uang Rp 3.000 hingga Rp 5.000.

Siyem mengaku tidak tertarik hijrah ke kota-kota besar seperti Surabaya saat Ramadan seperti sekarang. Dia paham betul, rezeki di kota besar seperti Surabaya untuk pengemis di bulan Ramadan jauh lebih besar dibanding di desa atau kota kecil seperti Kediri.

Tapi iming-iming rezeki rejeki besar itu tidak terlalu menariknya. Usia lanjut dan keterbatasan tenaga menjadi pertimbangan.

“Sudah tidak kuat dan tidak berani kalau sampai ke Surabaya. Di sini-sini saja,” lanjutnya.

Mbok Siyem mengaku, pada dasarnya dia juga merasa malu harus menjalani hidup sebagai peminta-minta. Namun tak banyak yang bisa ia lakukan dengan tenaganya yang semakin senja, serta keterampilan dan keahlian yang menurutnya sama sekali nihil.

“Mau bertani juga enggak punya lahan,” sebut dia. (ben)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com