Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tiga Petani Bengkulu Dipaksa Polisi Serahkan Tanah Sengketa

Kompas.com - 19/12/2013, 18:12 WIB
Kontributor Bengkulu, Firmansyah

Penulis


BENGKULU, KOMPAS.com - Tiga orang petani di Desa Tangsi Baru, Kecamatan Kabawetan, Kabupaten Kepahiang, Bengkulu mengaku dipaksa oleh polres setempat untuk menyerahkan tanah sengketa yang sejak lama telah mereka garap. Ketiga petani itu ialah Martoyo (70), Samirun (55) dan Wagianto (45).

Ketiganya bersama ratusan kepala keluarga (KK) lain di lima desa, yakni Desa Air Sempiang, Tugu Rejo, Bandung Baru, Air Leles, dan Desa Tangsi Baru menggarap tanah yang diklaim milik salah satu perusahaan perkebunan.

"Kami mendapatkan surat panggilan polres. Lalu saat kami datang kemarin Rabu (18/12/2013), kami dipaksa menyerahkan tanah yang kami garap. Jika tidak, kami akan dipenjara," kata Martoyo saat menggelar juma pers di Kantor Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Bengkulu, Kamis (19/ 12/2013).

Selanjutnya, Martoyo menjelaskan, ia dan Wagianto menolak secara keras permintaan polisi. Sementara Wagianto, setelah diancam akan dipenjara, akhirnya menandatangani surat penyerahan tanah kepada perusahaan di atas materai. "Kami menyesalkan tindakan kepolisian tersebut," kata Martoyo, sedih.

Sementara itu Kapolres Kepahiang AKBP Sudarno ketika dikonfirmasi menolak tegas pihaknya memaksa masyarakat menyerahkan tanah sengketa ke perusahaan. "Polisi hanya meluruskan, karena sebelum saya menjadi Kapolres Kepahiang, telah ada surat perjanjian antara masyarakat dengan perusahaan disaksikan kepala desa dan camat bahwa masyarakat akan menyerahkan tanah yang mereka garap dengan catatan rumah yang telah dibangun di atas tanah sengketa itu diberikan pada masyarakat, itu dilakukan perusahaan," kata Sudarno dihubungi via telpon.

Ia melanjutkan, dalam perjanjian dijelaskan, perusahaan akan memberikan rumah di atas tanah yang telah lama ditempati masyarakat, sementara lahan yang digarap warga harus dikembalikan ke perusahaan.

Sementara di lain pihak, warga mengaku sama sekali tidak mengetahui perjanjian itu karena selama ini mereka tidak pernah dilibatkan dalam proses tersebut.

"Kami tidak mengetahui perjanjian itu. Selama ini, kami tidak pernah dilibatkan dalam proses itu oleh perusahaan, mungkin tanda tangan kami telah dipalsukan," tambah Wagianto, rekan Martoyo.

Status tanah sengketa

Sementara itu, berdasarkan dokumen warga, tanah yang disengketakan itu awalnya adalah perusahaan perkebunan teh milik Belanda. Perusahaan mendatangkan tenaga kerja dari Pulau Jawa.

Lalu, setelah Indonesia merdeka, perusahaan berganti-ganti pengelola. Pada 1987, lahan dengan luas 1000 hektar dikelola PT Sarana Mandiri Mukti (PTSMM) dengan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) nomor 1 /KW/KPH/1989 dan berakhir pada 31 Desember 2019.

Karena telantar sejak 1987, tenaga kerja yang didatangkan dari Pulau Jawa itulah akhirnya memanfaatkan tanah milik perusahaan hingga kini. HGU ini juga dibebani dengan hipotik peringkat pertama dan peringkat kedua pada Bank Pembangunan Indonesia dan telah dihapuskan berdasarkan surat dari Badan Penyehatan Perbankan Nomor 334/2005 tanggal 28 April 2005.

Tanah tersebut akhirnya diusulkan sebagai lahan telantar karena tidak pernah dikelola oleh perusahaan. Selanjutnya perusahaan melepaskan tanah seluas 224,88 hektar dan menyerahkannya kepada negara yang kemudian disepakati dalam rapat pemegang saham luar biasa, berdasarkan akta notaris Nurlela Wati SH dan surat pernyataan pelepasan hak atas tanah tanggal 27 Juni 2011.

Selanjutnya, berdasarkan berita acara sidang panitia C kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Bengkulu tanggal 1 Juli 2011, tanah seluas 224.88 hektar yang diserahkan ke negara itu dijadikan obyek land reform (diberikan kepada masyarakat yang tidak memiliki tanah).

Masyarakat juga memiliki surat pernyataan dari perusahaan tertanggal 12 Mei 1998 ditandatangani Guntur Wiweko selaku Pjs Administratur. Dalam surat itu dinyatakan bahwa perusahaan tidak akan menganggu gugat lahan pertanian rakyat selama-lamanya. Gubernur Bengkulu, Junaidi Hamsyah pernah mengirimkan surat penghentian kegiatan di areal HGU perusahaan kepada Bupati Kepahiang, tetapi surat tersebut tak diindahkan.

Mengandung Geothermal

Martoyo menjelaskan, tanah sengketa ini diindikasikan wilayah tersebut mengandung geothermal atau gas bumi. "Eksplorasi geothermal dilakukan selama tujuh bulan lalu, dan ditemukan di tanah HGU tersebut. Kami sengaja mau diusir dari desa kami," kata Martoyo.

Intimidasi dan tekanan banyak diterima oleh warga yang tak bersedia menyerahkan tanah tersebut kepada perusahaan. Ironisnya, Pemerintah Provinsi Bengkulu dan Kabupaten Kepahiang justru memiliki saham di perusahaan tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com