Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ahli Waris Keraton Tuntut Kejelasan Status Surakarta

Kompas.com - 02/09/2013, 18:48 WIB
Ariane Meida

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com — Gugatan Daerah Istimewa Surakarta (DIS) agar negara memberikan status khusus dan keistimewaan kepada Keraton Surakarta saat ini dalam tahap sidang Pleno pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Provinsi Djawa Tengah, dengan agenda mendengarkan keterangan ahli/saksi pemohon serta pemerintah.

Kuasa hukum pemohon, Zairin Harahap, mengatakan bahwa penetapan status istimewa untuk Surakarta ini sebenarnya adalah upaya untuk mengembalikan status istimewa Surakarta yang secara yuridis diatur dalam Penetapan Pemerintah No 16/SD Tahun 1946 dan Surat Wakil Presiden tanggal 12 September 1949. Adapun dasar dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1949 tentang Pemerintah Daerah.

"Seperti Yogyakarta, tetapi tidak persis sama. Dia nanti juga berbentuk pemerintahan modern. Gubernurnya bisa dipilih, ya walaupun mungkin tidak persis dengan daerah-daerah yang bukan istimewa. Bukan penetapan kayak di Yogya ya; lebih seperti di Aceh," ujar kuasa hukum pemohon, Zairin Harahap, seusai sidang di kantor Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (2/9/2013).

Karena ketidakjelasan status hukum daerah istimewa Surakarta, pemohon Gusti Raden Ayu Koes Isbadiyah, putri kandung dari Susuhunan Paku Buwono XII—selaku salah satu ahli waris Keraton Surakarta—menyatakan kehilangan haknya untuk mengatur atau mengelola tanah-tanah Keraton Surakarta. Hal ini, menurutnya, berdampak pula pada kewibawaan serta status sosial para keluarga dan keturunan Keraton Surakarta.

UU Pembentukan Provinsi Jawa Tengah, menurut Zairin, telah memberikan perlakuan yang berbeda di hadapan hukum. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 digunakan sebagai dasar penggabungan wilayah Keraton Surakarta ke Provinsi Jawa Tengah. Adapun undang-undang untuk Daerah Istimewa Yogyakarta dibuatkan tersendiri, yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950.

Hingga saat ini, menurut Zairin, belum ada pasal ataupun ayat dalam UU tersebut yang menyatakan penghapusan status Surakarta sebagai daerah istimewa. Dengan demikian, menurutnya, status penetapan pemerintah tentang keistimewaan Surakarta masih sah di mata hukum.

Pihak pemohon, tutur Zairin, menyayangkan sikap pemerintah pusat yang mengingkari status keistimewaan Surakarta, dengan "menyejajarkan" Surakarta dengan daerah-daerah lain, seperti Semarang, Pati, Pekalongan, Banyumas, dan Kedu dengan menggabungkan seluruhnya ke dalam Provinsi Jawa Tengah.

Boyamin, selaku pemohon I, juga menegaskan bahwa sembilan abdi dalam keraton bersepakat mengajukan uji materi atas bagian yang memutuskan angka I pada Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950, yang dinilainya bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945. Bagian memutuskan pada angka I berbunyi: "Menghapuskan Pemerintahan Daerah Karesidenan Semarang, Pati, Pekalongan, Banjumas, Kedu, dan Surakarta, serta membubarkan Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Karesidenan-Karesidenan tersebut".

Pemohon meminta MK memberikan status khusus dan keistimewaan Keraton Surakarta, dengan menyatakan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Djawa Tengah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Menurut mereka, pengakuan terhadap keistimewaan Keraton Surakarta ini terkait pelestarian kekayaan budaya dan peradaban dunia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com