Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Anak-anak Penjual Cobek dari Padalarang

Kompas.com - 24/01/2017, 13:31 WIB
Reni Susanti

Penulis

BANDUNG, KOMPAS.com - Tangan Cepi Nurjaman bergetar. Di tengah kebingungan dan ketakutan ia terpaksa naik ke mobil patroli polisi.

"Disuruh naik sama polisinya, ya naik saja," ujar Cepi mengenang kejadian 2016 silam kepada Kompas.com, Selasa (24/1/2017).

Saat itu, ia dan beberapa orang temannya tengah berjualan cobek di daerah Tangerang. Karena kemalaman, ia meminta tolong kepada pemilik cobek untuk menjemputnya. Di tengah perjalanan, mobil patroli mencegatnya dan membawa Cepi, teman, dan pemilik barang ke kantor polisi.

Setibanya di kantor polisi, ia diberondong banyak pertanyaan. "Banyak sekali pertanyaannya. Seperti kenapa berjualan, sejak kapan berjualan, lalu siapa Tajudin," tuturnya.

Tajudin adalah paman Cepi yang juga berprofesi sebagai penjual cobek. Selain sebagai paman, Cepi mengenal Tajudin sebagai pemilik barang. Tajudin dituduh polisi mempekerjakan Cepi dan Dendi dan menyalahi UU Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan ancaman 15 tahun penjara.

Setelah 9 bulan di penjara dan berproses hukum, Tajudin yang berpenghasilan Rp 500.000 per bulan dari jualan cobek dinyatakan tidak bersalah di pengadilan.

Pengadilan Negeri Tangerang Selatan menyatakan, anak-anak sudah biasa bekerja membantu orang tuanya. Sehingga Tajudin tidak terbukti mempekerjakan anak-anak tersebut.

Cepi dan sekolah

Cepi adalah anak pertama dari pasangan Dadang Supriatna dan Sumiati. Mereka tinggal di sebuah rumah panggung berukuran kecil di Kp pojok, Desa Jayamekar, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat.

"Rumah bilik weh, ada dua kamar, ada TV saja satu. Enggak ada apa-apa lagi," ungkapnya.

Cepi bercerita, sejak kecil ia terbiasa melihat anak-anak bekerja. Karena di kampungnya, hampir setiap anak membuat cobek dan menjualnya. "Ayah saya, paman saya juga jualan cobek," ungkapnya.

Dengan kehidupan yang pas-pasan, Cepi ingin bekerja sejak lulus Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al Ihsan. Namun karena orangtuanya menyuruh sekolah, ia pun melanjutkan sekolah di MTs Darul Ulum. Namun sekolahnya tak bertahan lama. Ia hanya sekolah hingga ujian semester satu, tanpa menerima rapor. Tekadnya untuk bekerja lebih kuat.

"Hoream sakola lieur. Hoyong damel. Lumayan tiasa mantuan mamah jeung bapak. (Malas sekolah, puyeng. Ingin kerja. Lumayan bisa bantu ibu dan ayah)," tuturnya.

Cepi memulai kerja dengan berjualan cobek. Ia mengambil cobek dari pamannya dan memanggul 10 cobek yang beratnya sekitar 18 Kg dari pukul 14-21 WIB. Tidak semua cobek habis terjual. Kadang, cobek yang dijajakannya hanya laku dua buah.

"Keuntungannya rata-rata Rp 80.000 per hari. Tapi saya tidak jualan tiap hari," tuturnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com