Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mempertahankan Dusun Pendes sebagai "Kampung Dolanan"

Kompas.com - 01/12/2013, 08:50 WIB
Kontributor Yogyakarta, Wijaya Kusuma

Penulis


YOGYAKARTA, KOMPAS.com - "Kampung dolanan" atau kampung mainan,  itulah julukan yang diberikan kepada Dusun Pandes, Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul. Julukan itu didapat karena sejak abad ke-18, warga dusun bertahan membuat mainan anak-anak.

Namun kondisi itu berubah sejak membanjirnya berbagai jenis mainan elektronik atau mainan impor yang harganya cukup murah. Berbagai upaya dilakukan untuk melestarikan dolanan anak-anak itu. Salah satunya adalah dengan penyelenggaraan Festival Dolanan Anak, yang berlangsung dari 27 November hingga 1 Desember 2013, di Dusun Pendes.

Ketua komunitas Pojok Budaya, yang juga Lurah Desa Panggungharjo, Sewon Bantul, Wahyudi menceritakan, sekitar abad ke-18 datang seorang perempuan keturunan Majapahit bernama Nyai Sompok datang ke dusun Pendes.

Seperti diketahui rakyat Kerajaaan Majapahit terkenal dengan kemampuannya membuat kerajinan tangan. Seperti itulah Nyai Sompok mengisi hari-harinya di Dusun Pendes, yakni membuat kerajinan berupa dolanan anak.

"Nyai Sompok mengajarkan warga cara membuat berbagai dolanan. Selain untuk mengisi waktu luang juga menambah penghasilan keluarga. Dari situlah warga di sini mulai membuat dolanan anak sampai saat ini," tutur Wahyudi, saat ditemui Kompas.com, Sabtu (30/11/2013).

Salah satu dolanan anak buatan Dusun Pendes yang terkenal yakni "wayang kertas". Yang unik mainan ini adalah setiap karakter wayang kertas dibuat tanpa pola. Jadi lembaran kertas langsung dipotong dengan menggunakan gunting hingga membentuk karakter tokoh wayang seperti yang diinginkan.

Kemampuan itu diturunkan sejak jaman nenek moyang. "Meski tanpa pola, hasilnya ya hampir sama dengan wayang kulit. Seluruh tokoh pewayangan bisa mereka buat tanpa pola," ucap Wahyudi.

Sekitar tahun 1960-an, pada setiap Lebaran atau perhelatan besar di kota lain, warga Dusun Pendes bersama-sama menjual mainan anak. Mereka berangkat beramai-ramai naik truk. Tujuan mereka biasanya Magelang, Temanggung, dan paling jauh Kebumen.

"Bareng-bareng satu kampung. Di sana bisa satu minggu bahkan sampai dua minggu, ya tidur di kota itu, kalau mainan sudah terjual habis baru pulang," kata dia.

Ketika itu penghasilan dari berjualan mainan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun kini kondisinya sudah berbeda.

Seiring masuknya mainan-mainan dari luar negeri ke Indonesia, penjualan mainan tradisional, tak terkecuali dari Dusun Pendes, menurun drastis. Kondisi ini berimbas pada menurunnya jumlah pembuat dolanan anak di kampung itu. Banyak yang beralih profesi, menjadi petani atau buruh.

"Sekarang tinggal enam orang, dulu hampir semua warga di sini membuat dolanan," kata Wahyudi.

Pada Festival Dolanan Anak, para pengunjung bisa berkeliling kampung dolanan untuk melihat proses pembuatan mainan tersebut dan memainkannya. "Ada 20 jenis dolanan anak di sini. Pengunjung juga bisa belajar membuat dolanan anak. Selain melestarikan juga untuk membuka kembali memori masa kecil atau istilahnya kangen-kangenan," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com