Sebelum ISPA menyerang cucunya, anak Bidaya, Amil Safar, telah lebih dulu merasakan dampak buruk polusi udara tambang galian C di Buluri.
Putra bungsu Bidaya yang berumur 25 tahun itu sudah dua tahun bekerja di salah satu perusahaan tambang sebagai pencatat material yang diangkut truk dari lokasi tambang ke kapal tongkang yang bersandar di dermaga.
Namun, sesekali anaknya diperbantukan dengan beberapa karyawan lain di divisi berbeda.
“Waktu itu baru satu tahun Amil kerja, dia mengeluh sakit dadanya. Pas lagi di rumah tiba-tiba batuk, di situ sudah keluar darah dari mulutnya,” kata Bidaya.
Baca juga: WNA Sebut IKN Ibukota Koruptor Nepotisme, Kementerian PUPR Buka Suara
Hasil pemeriksaan oleh dokter, Amil batuk darah karena tenggorokannya mengalami infeksi yang diduga kuat karena menghisap debu. Ketika sakit, anaknya sempat melapor ke pihak perusahaan, namun tidak ada jawaban.
“Mau tidak mau, kami obati sendiri anak kami tanpa keterlibatan perusahaan.”
Setelah ke dokter dan rutin mengonsumsi obat kurang lebih seminggu, Amil akhirnya sembuh. Sesaat setelah gejala penyakitnya mereda, Amil memilih kembali bekerja.
“Saya tidak bisa berbuat apa-apa, Amil tulang punggung kami di rumah ini. Jadi, saya biarkan anak saya kembali bekerja di perusahaan, meski memang saya tahu kesehatannya terancam,” ungkapnya.
Gaji sebesar Rp3 juta yang diterima Amir, digunakan setengahnya untuk membayar cicilan motor. Sementara, sisanya digunakan untuk membeli kebutuhan rumah tangga.
"Kalau Amil berhenti kerja, kami mau dapat uang dari mana untuk hidup?” paparnya.
Baca juga: Hasil Pemeriksaan BPK: 2.085 Hektare Lahan IKN dalam Penguasaan Pihak Lain
Namun, kepada BBC News Indonesia, Asep Firman Ilahi selaku kepala SPAG Lore Lindu Bariri mewanti-wanti bahwa pengukuran pada 1 Mei “memang tinggi akibat aktivitas Gunung Ruang”.
"Hasil pengukuran partikel PM2,5 di Palu biasanya berkisar di bawah 5 µgram/m3 atau dalam kondisi Baik-Sedang,” jelasnya pada Rabu (12/06).
Nilai ambang normal PM2,5 bagi kesehatan yakni 15 µgram/m3.
Baca juga: Pemerintah Buka Suara Soal Temuan BPK di Proyek IKN
Asep menuturkan, efek jangka pendek akibat PM2,5 yang di ambang batas bisa memicu penyakit jantung, paru-paru, bronkitis, ISPA, dan serangan asma. Bayi, anak-anak, dan orang dewasa yang lebih tua rentan terhadap dampak tersebut.
Asep menegaskan bahwa pihaknya mengukur partikel polutan udara dalam radius satu kilometer dari tempatnya.
“Apabila ada aktivitas yang menghasilkan PM2,5 di luar wilayah kami, maka harus ada studi dan pengukuran lebih lanjut dengan peralatan yang lebih memadai agar datanya bisa dipertanggungjawabkan,” paparnya.
Pada Rabu (12/06), Asep menyebut peningkatan partikel juga terjadi pada PM10 dengan nilai 46 µgram/m3.
Nilai itu, menurutnya, masih dalam kategori baik - meski lebih tinggi dibanding hari-hari biasa. Nilai ambang batas PM10 adalah 40 µgram/m3.
“Dampak kesehatan jangka pendek dari PM10 dapat memicu gangguan pernapasan seperti ISPA, asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK),” ungkap Asep.
Baca juga: Kementerian PUPR: Pembangunan SPAM Sepaku Sudah 50 Persen, Bisa Suplai Air ke IKN Saat 17 Agustus
Dokter Spesialis Paru dari Divisi Paru Kerja dan Lingkungan Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI - Pusat Respirasi Nasional RS Persahabatan Jakarta, dr Efriadi Ismail, Sp.P (K), mengatakan polusi udara sangat berdampak pada kesehatan manusia.
Pencemaran udara akibat pengolahan atau hasil industri pertambangan bebatuan misalnya, menurut Efriadi, akan memberikan dampak negatif terhadap paru-paru pekerja dan masyarakat sekitar wilayah pertambangan.
Penyakit pernafasan yang umumnya timbul akibat paparan partikel debu yaitu menurunnya kualitas udara sampai pada tingkat yang membahayakan kesehatan dan pada akhirnya berujung pada meningkatnya gangguan penyakit pernafasan seperti ISPA.
Baca juga: Juli, Seluruh Kawasan Inti Pusat Pemerintahan IKN Terlayani Air Bersih
Partikel debu halus berupa PM2,5 atau partikel yang lebih kecil yaitu ultrafine particle, sangat mudah masuk ke saluran pernapasan.
“Jika yang terhirup sangat banyak dan terus menerus dampak akutnya bisa menimbulkan iritasi atau peradangan saluran pernapasan mulai dari hidung sampai saluran pernapasan bagian bawah,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, partikel debu halus sering disertai virus, kuman dan bakteri bahkan jamur yang jika terhirup oleh individu rentan – seperti bayi, balita, ibu hamil dan lanjut usia, serta mereka yang memiliki riwayat penyakit pernapasan bawaan – bisa mengalami gejala ISPA.
“Jadi balita, pekerja tambang, dan warga sekitar sangat mungkin menderita ISPA karena pajanan debu tersebut. Dan hal ini harus jadi perhatian perusahaan tambang, pemerintah setempat, serta instansi yang terkait untuk membuat bagaimana pajanan polusi terkait debu ini bisa diminimalisisr,” pungkas Efriadi.
Baca juga: Dua Tahun Berjalan, Pembangunan IKN Sudah Menelan Dana Rp 80 Triliun