NUNUKAN, KOMPAS.com – Kepala Kantor BPJS Kesehatan Nunukan, Kalimantan Utara, Yuliani Sahar, meminta masyarakat melapor jika diminta untuk menebus sendiri resep obat di apotek luar oleh manajemen RSUD Nunukan.
Hal tersebut karena sejak 2023, banyak pasien mengeluhkan tagihan obat apotek yang harganya lumayan mahal.
"Kita sejak tahun 2023 lalu menerima banyak kasus pasien diminta RSUD Nunukan membeli sendiri obat di apotek lain. Tahun 2024 juga ada puluhan laporan yang sama kami terima. Mohon bagi masyarakat yang mengalami kasus demikian untuk melapor ke kami, ke BPJS, kami usahakan RS mengembalikan uang pembelian obat," kata Yuliani, saat ditemui, Selasa (11/6/2024).
Yuliani menegaskan, sejak 2019, pemerintah RI telah meminta peningkatan layanan mutu, dan tidak boleh ada obat dari luar rumah sakit.
Baca juga: Operasional PMI Nunukan Terancam Terhenti akibat RSUD Nunukan Berutang Rp 651 Juta
Hal tersebut ditegaskan dengan Permenkes Nomor 16 Tahun 2019 tentang Pencegahan Dan Penanganan Kecurangan (fraud) Serta Pengenaan Sanksi Administrasi Terhadap Kecurangan (fraud) Dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan.
Dalam Bab V Permenkes 16 Tahun 2019 disebutkan, bahwa instansi berwenang dapat memberikan sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis, perintah pengembalian kerugian, tambahan denda administratif, dan pencabutan izin.
"Kasus ini terjadi di RSUD Nunukan. Mereka menyuruh peserta BPJS Kesehatan membeli obat di apotek lain atau di luar fasilitas kesehatan (faskes) tersebut dengan biaya sendiri karena stok obatnya habis," ujar dia.
Yuliani mengimbau, bagi pasien yang mendapat perlakuan demikian, untuk membawa kuitansi pembelian obat, lalu melapor ke BPJS.
Nantinya, BPJS akan meminta rumah sakit untuk mengembalikan biaya obat yang dibeli dari luar RSUD tersebut.
Ia menjelaskan, merujuk Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2014 yang mengatur pembayaran BPJS Kesehatan ke rumah sakit dilakukan dengan sistem paket.
Biaya yang dibayarkan termasuk biaya ruangan, biaya obat, jasa dokter, biaya makan pasien, dan sebagainya.
Yang artinya, fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan wajib memberikan pelayanan obat kepada peserta JKN sesuai dengan kebutuhan medis mereka.
"Ini masuk kategori fraud atau kecurangan. Mereka menganjurkan pasien membeli obat di luar rumah sakit, sementara isi kerja sama dengan BPJS mewajibkan penyediaan obat bagi pasien. Ada potensi juga tagihan masuk ke BPJS. Kasus 2023 ada ratusan pasien, dan puluhan pasien di 2024," kata Yuli.
Yuli menuturkan, korban dari kebijakan RSUD Nunukan tersebut bukan hanya masyarakat sipil.
Ia sendiri mengalami hal tersebut, sehingga ia segera melakukan sosialisasi untuk masyarakat agar tidak takut untuk melapor.
Menurut Yuli, BPJS Kesehatan Nunukan sudah melayangkan surat peringatan pertama kepada RSUD yang ditembuskan ke pemerintah daerah sejak pertengahan 2023.
Baca juga: Bupati Heran RSUD Nunukan Kolaps, Selama Ini Keuangan Dilaporkan Surplus
Kendati demikian, peringatan tersebut sepertinya tidak diindahkan, mengingat kondisi RSUD Nunukan yang diambang bangkrut.
Yuli menuturkan, pengenaan sanksi dalam setiap kasus yang terbukti fraud, dimulai dari sanksi administratif sebagaimana diatur dalam perjanjian kerja sama antara BPJS Kesehatan dengan Fasilitas Kesehatan.
Tim PK JKN juga dapat menjatuhkan sanksi administratif bagi siapa saja yang terbukti melakukan tindakan fraud sesuai dengan kewenangannya.
Ada juga ketentuan sanksi administrasi dan denda dalam permenkes dimaksud. Di mana RSUD diharuskan mengganti biaya denda sebesar 25 persen dari jumlah klaim.
"Jadi, dari laporan yang kita teruskan ke RSUD, sebagian dikembalikan, sebagian ada yang tidak. Dan perlu diingat, pengenaan sanksi administratif bisa saja akan berpotensi lanjut pada ranah hukum," ujar Yuli.
BPJS Kesehatan Nunukan juga meminta RSUD Nunukan segera melunasi tunggakan utang sejak 2021 dengan jumlah sekitar Rp 450 juta.
"RSUD Nunukan memiliki tunggakan utang sejak 2021 itu kurang lebih Rp 450 juta. Itu untuk item Jaspel dan TPP," kata Yuli.
Sebelumnya diberitakan, Kepala Dinas Kesehatan Nunukan, Hj Miskia menjelaskan, kondisi RSUD diambang bangkrut.
Bahkan, untuk kas RSUD Bulan Mei 2024, sudah kosong, sehingga tagihan listrik, air PDAM, juga oksigen, tidak terbayar.
"Kas RSUD di bulan Mei 2024 itu nol rupiah. Air PDAM sudah tidak terbayar 5 bulan, sekitar Rp 520 juta. Oksigen masuk 3 bulan belum terbayar. Itu perbulannya Rp 210 juta. Termasuk tagihan listrik PLN. Kita juga sudah di-blacklist oleh sejumlah vendor obat," ujar Miskia.
Dari pemaparan anggaran RSUD Nunukan, total utang RSUD Nunukan sejak 2021, sekitar Rp 42.287.779.060.
Rinciannya adalah utang obat, BMHP, BHP dan lainnya. Dengan rincian, utang tahun 2021, sebesar Rp 3,5 miliar.
Baca juga: ASN Disdukcapil Nunukan yang Lecehkan Gadis Pemohon KTP Diberhentikan Sementara
Utang tahun 2022, sebesar Rp 8 miliar dan utang tahun 2023 Rp 30,7 miliar.
Dari total utang tersebut, RSUD sudah membayar tagihan sebesar Rp 17.317.596.362, sehingga masih tersisa Rp 24.970.182.698.
Sebagai informasi,anggaran BLUD RSUD Nunukan sedang masuk penyidikan Kejari Nunukan, dengan ditemukannya dugaan penyelewengan anggaran penanggulangan Covid-19, sebesar Rp 3,6 miliar di tahun 2022.
Jaksa juga menemukan angka kerugian jauh lebih besar di tahun 2021, yang jumlahnya masih dalam penghitungan BPKP.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.