KOMPAS.com - Enbal, panganan tradisional olahan “ubi beracun” di Kepulauan Kei, Maluku, mulai tergerus perkembangan zaman. Program bantuan pangan yang memanjakan masyarakat dan makin sedikitnya petani enbal dianggap sebagai penyebab budaya pangan lokal ini “mulai luntur”.
Enbal berasal dari tanaman singkong jenis tertentu yang banyak ditemui di kepulauan di timur Indonesia tersebut. Berbeda dengan singkong pada umumnya, daun singkong di Kei tampak lebih tipis dan kecil.
Enbal, singkong pahit yang memiliki nama latin Manihot glaziovii – dikenal sebagai ubi racun atau singkong karet – kadar racunnya jauh lebih tinggi dibanding singkong manis yang biasa dikonsumsi setiap hari (Manihot utilissima).
Baca juga: 5 Rekomendasi Penginapan di Kepulauan Kei Maluku, Ada yang di Tepi Pantai
Kendati begitu, warga Kepulauan Kei tahu betul bagaimana mengolah enbal supaya aman dikonsumsi.
Salah satu petani enbal di Desa Wain Baru, Maluku Tenggara, Ibrahim Wokanubun menjelaskan bahwa setelah dipanen, proses pengolahan enbal dimulai dengan pengupasan kulit. Setelah itu, ubi tersebut diparut dam dimasukkan ke dalam karung.
Saat itulah proses gepe – yang berarti jepit dalam bahasa Kei – dimulai. Ini dilakukan dengan menjepit parutan enbal yang sudah dimasukkan ke dalam karung di antara kayu dan pemberat batu.
“Proses untuk pengeluaran racun itu enbal digepe (dijepit) terus ditindis dengan kayu dan batu. Terus dia punya proses untuk keluar dia punya air racun itu keluar, itu berkisar dua sampai tiga jam,” jelas Ibrahim kepada wartawan Darul Amri yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Baca juga: Menyongsong Program Makan Bergizi Gratis dengan Pangan Alternatif
Ubi khas Kepulauan Kei ini dinamai enbal karena dalam bahasa Kei, En berarti ubi dan Bal berarti Bali. Masyarakat setempat meyakini bahwa ubi yang tumbuh di Kepulauan Kei berasal dari Bali.
Sejak itu, ubi tersebut dibudidayakan dan enbal menjadi makanan pokok masyarakat setempat menggantikan sagu.
Ibrahim Wokanubun mengatakan dia mulai menjadi petani enbal sejak 21 tahun lalu. Kala itu, petani enbal berjumlah sekitar 85% dari total penduduk desanya. Namun pada 2017 silam jumlahnya hanya sekitar 3-4% dari total penduduk.
Ketika ditanya mengapa semakin sedikit warga Kepulauan Kei berminat menjadi petani enbal, menurut Ibrahim, itu karena warga desanya telah dimanjakan dengan program bantuan pemerintah seperti Dana Desa, Program Keluarga Harapan (PKH), dan bantuan sosial (bansos).
Baca juga: Pemerintah Lanjutkan Bantuan Pangan Beras, tapi Tak sampai Desember
“Masyarakat sekarang ini malas-malasan membuat kebun enbal, mereka mengharapkan bantuan untuk dorang (mereka) punya kehidupan ke depan,” keluh Ibrahim.
Diakui oleh Kepala Dinas Ketahanan Pangan Maluku Tenggara, Arifin Rahayaan, program bantuan pemerintah membuat masyarakat “terlena dengan bantuan pangan dari pemerintah, yang biasanya dalam bentuk beras”.
“Sehingga budaya pangan lokal ini sudah mulai luntur,” kata Arifin.
“Mulai dari kebijakan raskin, bantuan pangan dan seterusnya, dampak dari kebijakan itu meninabobokan atau memanjakan masyarakat,” kata dia, seraya menambahkan itu akan berdampak pada berkurangnya intensitas warga melakukan penanaman enbal.
Berkurangnya petani enbal membuat produksi enbal menurun. Di sisi lain, permintaan masih tinggi karena “budaya pangan masyarakat yang tak bisa lepas dari enbal”. Akibatnya, harga enbal melonjak naik.
Baca juga: Sidak ke Pasar Padalarang, Zulhas Klaim Stok Pangan Aman Jelang Idul Adha
Diakui petani enbal, Ibrahim Wokanubun, lonjakan harga itu adalah yang tertinggi sepanjang sejarah.
“Kalau dilihat dari enbal, satu gepe lebih mahal dari pada beras satu karung," ujar Ibrahim kemudian.
Itu mengapa, salah satu warga Kei, Ali Akbar, memilih untuk mengonsumsi beras yang harganya jauh lebih murah.
“Harga enbal ini mahal. [Harga] beras agak sedikit murah dari pada enbal, jadi katong jarang makan enbal,” akunya.
Pria berusia 31 tahun ini mengatakan dia baru mengonsumsi enbal ketika musim panen enbal – ketika harga enbal relatif lebih murah.
Baca juga: Pemanfaatan Goba Terumbu Dapat Sokong Ketahanan Pangan RI
“Karena beras itu agak sedikit murah jadi semua lari ke beras,” kata Ali.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan Maluku Tenggara, Arifin Rahayaan, mengungkapkan pemerintah saat ini terus gencar mengupayakan agar masyarakat Kei kembali menanam enbal sebagai budaya pangan lokal.
Hal ini, kata Arifin, dilakukan untuk mengantisipasi jika kebijakan-kebijakan bantuan pangan tak lagi digelontorkan pemerintah.
“Bantuan itu sifatnya sementara karena suatu saat bantuan itu tidak ada maka enbal inilah yang menjadi subtitusi atau sebagai makanan pokok di masyarakat Kei,” cetusnya.
Dokter spesialis gizi klinik, dr Aryanti R. Bamahry menerangkan jenis ubi kayu yang dijadikan sebagai bahan pangan suku Kei di Maluku ini memiliki kandungan sianida tinggi, tapi juga memiliki sumber karbohidrat tinggi.
Baca juga: Lonjakan Inflasi dan Siasat Masyarakat Penuhi Pangan Bergizi untuk Anak
“Bukan hanya ubi kayu, hampir 2000 tanaman mengandung sianida dalam kadar yang sangat kecil. Di sinilah kita harus memiliki pengetahuan bagaimana makanan tersebut bisa diolah,” kata Aryanti.
“Dengan teknik pengolahan yang benar, yang tadinya ada kandungan [sianida] bisa berkurang dan aman untuk dikonsumsi,” ujarnya kemudian.
Teknik pengolahan ubi kayu yang benar, menurut Aryanti, ketika tanaman itu sudah dipanen tidak boleh disimpan terlalu lama – langsung dikupas kulitnya. Sebab, kandungan sianida yang tinggi ada pada kulit umbi.
“Kulitnya itulah yang harus dikupas supaya dapat terurai,” kata dia.
Baca juga: Jokowi Beri Sinyal Lanjutkan Bantuan Pangan, Diumumkan Bulan Juni
Dia juga menyarankan agar umbi yang sudah dikupas lalu dipotong kecil-kecil sehingga sianida glukosida dalam umbi semakin mudah terurai.
Teknik berikutnya yang bisa dilakukan adalah dengan diparut, dijemur atau direndam.
“Dengan dijemur itu terjadi penguapan jadi mengurangi lagi kadar sianidanya. Sebelum dimasak itu baiknya direndam dulu, semakin lama di rendam, air akan mengurai zat sianida ini,” jelas Aryanti, seraya menambahkan perendaman sebaiknya dilakukan selama dua atau tiga jam.
Lebih lanjut, Aryanti menjelaskan bahwa ubi kayu bisa menjadi sumber karbohidrat alternatif, selain nasi, jagung dan sagu.
Nasi, menurut Aryanti, memiliki kandungan karbohidrat tinggi, namun juga memiliki indeks glikemis tinggi – yang berisiko bagi pengidap penyakit gula atau diabetes miletus. Ubi kayu, bagi Aryanti, bisa menjadi pengganti nasi bagi mereka.
“Bisa orang penyakit gula diberikan alternatif makanan pokoknya adalah ubi kayu selama pasien tersebut tidak mengidap penyakit maag, karena kita tahu juga bahwa ubi kayu di sisi lain mengandung vitamin C cukup tinggi dibandingkan dengan nasi,” cetusnya.
Reportase oleh wartawan Darul Amri
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.