Sementara itu, Kayo--bukan nama sebenarnya--pekerja yang mengangkut galon minyak solar ke lokasi tambang emas ilegal di hulu Sungai Penetai.
Ia menceritakan berangkat sebelum fajar dari Dusun Serpih, Desa Muara Hemat, galon-galon berisi minyak solar sudah siap dibawa ke lokasi tambang.
Dalam sekali angkut, Kayo bisa membawa tiga galon. Masing-masing galon berukuran 30 kilogram. Galon disusun di punggung sampai di atas kepala.
Beban berat di pundak, tak menyurutkan langkah pria 45 tahun untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah.
Dia harus berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer melewati jalur setapak, menembus hutan dan menyeberangi sungai.
Dari titik pengangkutan Dusun Serpih sampai ke lokasi tambang emas ilegal, upah angkut mencapai Rp 750.000 per jeriken. Dalam satu kali angkut, dia bisa mengantongi duit bersih dua juta rupiah.
“Saya sekarang berhenti total (angkut minyak), di jalur angkut minyak sampai ke lokasi tambang ramai sekali seperti pasar. Di lokasi bisa sampai ratusan orang,” kata Kayo menceritakan kembali tentang pekerjaannya itu pada 12 Desember 2023.
Baca juga: 2.000 Batang Kayu Putih Ditanam di Lahan Bekas Tambang Ilegal
Teramat sukar masuk ke lokasi tambang emas ilegal. Para penambang sangat anti dengan orang luar. Sistem antar minyaknya pakai surat delivery order.
“Sampai di lokasi kita harus minta stempel untuk bukti kalau minyak yang kita bawa sudah sampai,” kata Kayo.
Setelah mendapatkan stempel maka dia menemui tangan kanan pemodal, untuk meminta bayaran.
Hampir setahun bekerja menjadi pengangkut minyak solar, Kayo mengaku tangan kanan pemodal berganti-ganti.
Tetapi pemodal utamanya tak berubah yakni Sondes. Dia juga orang pertama yang membuka tambang emas ilegal di hulu Sungai Penetai. Dia mulai merintis jalan ke lokasi tersebut, sejak 2014.
Informasi terkait pemodal dan pemilik alat berat diperoleh Kayo dari rekannya yakni pemuda-pemuda Perentak, Kecamatan Pangkalan Jambu.
Menurut dia, 80 persen pengangkut minyak untuk tambang emas di kawasan TNKS adalah pemuda, yang berasal dari Desa Perentak dan sekitarnya.
Warga daerah ini, banyak yang bekerja sebagai tukang box atau orang yang bekerja memisahkan emas dari pasir dan batu. Selanjutnya menjadi tukang langsir minyak, dan orang yang mendulang.
Baca juga: Timnas Anies-Muhaimin Dorong Penegak Hukum Usut Aliran Dana Tambang Ilegal untuk Kampanye
Hal senada disampaikan mantan pemodal kecil-kecilan tambang emas ilegal, NT. Dia urung berburu emas karena selalu buntung. Bermain emas dengan modal cekak membuatnya kelimpungan.
Awalnya dia harus menyewa alat berat dengan harga beragam mulai dari Rp 150 juta.
Kemudian harus mencari pekerja yakni mandor, operator, pelangsir minyak solar dan tukang box. Minimal setiap satu alat berat yang beraktivitas harus ada 10 pekerja.
Tukang box ini memang kerjanya membutuhkan banyak orang. Lantaran memisahkan emas dari pasir, batu dan tanah.
Butiran emas kemudian dibakar untuk dibentuk menjadi bongkahan kecil. Baru kemudian ditimbang dan dijual ke penadah.
“Sondes ini seolah pemilik lokasi tambang. Setiap pemodal yang mau kerja di lokasi, harus bayar upeti sama dia. Setor uang keamanan, jadi kalau ada razia dapat bocoran,” kata NT.