“Tidak pernah dikasih tau soal WCA. Tapi pernah sekali ditegur karena pasang pagar listrik. Mau gimana, kita butuh hidup kalau tidak dipasang pagar listrik habis tanaman dimakan gajah,” kata Ferdiansyah.
Mbah Mulyono (63), warga RT 07 Desa Pemayungan, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi mengatakan, sejak 2016 berada di WCA dan menanam sawit.
Ia juga memasang pagar listrik, lantaran ada seekor gajah jantan berkalung GPS, yang mondar-mandir tidak takut dengan manusia. Gadingnya hampir setengah meter. Ketika dia melintas, tanaman warga habis. Jarak 10 meter tidak mau lari.
“Jadi memang harus dijaga terus. Pernah ada 16 gajah masuk kebun, diusir dengan mercon terbang, tidak mau lari. Sudah kebal dia. Terpaksa kami gotong royong menggiring gajah agar keluar kebun,” kata Mulyono di rumahnya, Sabtu (26/8/2023).
Kehadiran gajah memang meresahkan petani yang menanam sawit. Masyarakat yang takut mengusir gajah dengan petasan dan meriam karbit. Apabila dibiarkan menurutnya bisa menghabiskan seluruh kebun.
Mulyono pernah menanam sawit lima kali dalam satu lubang. Kalau usia tanam baru setahun atau dua tahun pasti habis total, ketika gajah masuk kebun.
“Kejadian baru ini, di Simpang Makam. 4 hektare habis dalam semalam. Ada 70 ekor gajah yang masuk. Rumah tetangga saya, dua bulan lalu rata dengan tanah,” kata Mulyono.
Hal senada disampaikan Rahman, mantan ranger LAJ. Tugasnya melakukan mitigasi konflik gajah manusia. Jika gajah sudah meresahkan banyak orang di area WCA, maka dia bersama warga menggiring gajah keluar kawasan.
“Tugas saya memang mengatasi konflik antara manusia dengan gajah. Agar tidak jatuh korban, gajahnya kami usir dengan meriam atau ramai-ramai digiring keluar kebun warga,” kata Rahman.
Pemasangan pagar listrik juga dilakukan kelompok tani hutan (KTH) yang telah meneken kerja sama dengan LAJ.
Wahono, Ketua KTH Lestari Rimba Mulya mengaku tidak ada larangan dari LAJ terkait pagar listrik. Namun pemasangan baru marak dilakukan akhir 2020. Lantaran ruang jelajah gajah sudah terlampau sempit.
Kemitraan petani dan perusahaan karena mengikuti aturan pemerintah. Pada dasarnya, LAJ tidak memiliki hak karena Wahono sudah menggarap lahan itu tahun 2009.
Bahkan sebelum terbentuk LAJ bahkan WCA, sejumlah warga dalam kawasan ini sudah hidup berdampingan dengan gajah.
Namun pada 2013, ketika LAJ secara besar-besaran merobohkan hutan untuk menanam karet, jalur gajah berubah dan akhirnya berkonflik dengan masyarakat.
Untuk mencegah gajah masuk kebun karet, mereka melakukan blokade di jalur gajah. Hampir setiap tahun, mereka menanam karet.
Wahono mengatakan ada kebencian yang dalam masyarakat dengan LAJ. Tahun 2014-2015 mereka sewa ratusan preman untuk mengintimidasi warga.
Begitu juga setelah penetapan kawasan WCA, mereka mengusir gajah ke kebun warga. Padahal banyak anak-anak dan perempuan.
“WCA ini kawasan lindung LAJ. Sementara dalam kawasan ini ada saya, ada ratusan petani lain dan gajah. Kami disuruh hidup berdampingan. Kalau memang sanggup hidup dengan gajah ya bertahanlah, kalau tidak keluarlah,” kata Wahono.
Erna Sutriani (29) mengaku sering takut berada di area WCA. Ketika mendengar kabar perusahaan mengusir gajah, maka tempatnya akan menjadi sasaran. Maka dia mengungsi ke tempat aman. Setelah perempuan dan anak-anak mengungsi, para lelaki menggiring gajah ke hutan.
“Kalau sedang banyak gajah, saya mengungsi ke tempat yang aman,” kata Erna.
Menurut peta pergerakan gajah tahun 2016 dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), hampir semua kelompok gajah tersebar di kawasan WCA. Namun tahun 2022, mereka berkumpul di ruang yang sempit. Ada banyak petak-petak dalam WCA yang menghambat pergerakan gajah.
“Pergerakan gajah terhambat. Ruang jelajahnya menjadi sempit. Kelompok Cinta dan Indah sudah 1 tahun di bawah, sulit mau naik ke taman nasional karena pagar listrik,” kata Harefa Edison Kepala Pusat Informasi Konservasi Gajah (PIKG) ketika mengunjungi kawasan WCA untuk menanam pakan alami gajah di area seluas 13 hektar.