Perlawanan Sonbai I
Pada dasarnya, perlawanan rakyat NTT terhadap Belanda telah berlangsung di berbagai wilayah.
Misalnya, masyarakat Lidak di Belu melakukan perlawanan pada 1857. Namun, perlawanan masyarakat Lidak berlangsung singkat karena sangat tertindas.
Di sisi lain, Dinasti Sonbai telah menentang Belanda jauh sebelum adanya perlawanan masyarakat Lidak.
Dinasti Sonbai telah menentang upaya ikut campur tangan Belanda terhadap wilayah NTT paling tidak sejak tahun 1700-an di bawah kekuasaan Raja Sonbai I.
Beberapa upaya perlawanan yang dilakukan Raja Sonbai I adalah dengan menolak menandatangani perjanjian kerja sama dengan Belanda.
Atas sikap kerasnya tersebut, Belanda benar-benar menganggap Dinasti Sonbai di bawah kekuasaan Raja Sonbai I, menjadi tantangan besar.
Salah satu cara yang dilakukan Belanda untuk meredam perlawanan Dinasti Sonbai adalah dengan menangkap sang raja. Ia kemudian diasingkan ke Batavia dan meninggal pada 1785.
Meskipun Raja Sonbai I telah meninggal, bukan berarti perlawanan terhadap Belanda juga padam.
Dinasti Sonbai justri melakukan perlawanan kian keras terhadap Belanda.
Upaya menentang Belanda selanjutnya dipimpin Sobe Sonbai II.
Sengitnya konflik antara Dinasti Sonbai dengan pihak kolonial kemudian memaksa Belanda menerapkan taktik pecah belah pada 1823.
Pihak Belanda kemudian menghasut kerajaan-kerajaan kecil di bawah naungan Dinasti Sonbai agar memisahkan diri. Dengan begitu, Belanda lebih mudah menyerang Dinasti Sonbai.
Politik pecah belah yang dilancarkan Belanda tampaknya berjalan cukup lancar.
Beberapa kerajaan kecil di bawah Dinasti Sonbai berangsur memisahkan diri.
Kerajaan kecil Kono dan Oematan benar terhasut oleh taktik Belanda yang membuat mereka memberontak terhadap Sonbai. Pemberontakan itu dikenal dengan peristiwa Perang Bijili tahun 1823.
Kemudian, kerajaaan lain seperti Amfoang, Pitai, Takaeb, juga turut memisahkan diri dari Dinasti Sonbai dan sesegera mungkin diakui kedaulatannya oleh Belanda.
Meskipun kondisi Sonbai agak runyam pada masa ini, dinasti itu tetap gagah dengan sikapnya yang menentang dan melawan Belanda.
Keteguhan sikap Dinasti Sonbai ini, ternyata menarik perhatian beberapa kerajaan kecil lainnya yang masih teguh melawan Belanda.
Pada 1836, Sonbai bersama tiga kekuatan kerajaan kecil yang memihak kepadanya, menyerang pusat pemerintahan Belanda di Kupang, NTT.
Serangan Sonbai dan sekutunya belum memberikan dampak yang besar dan dapat dikatakan gagal.
Pada 1847, Belanda melancarkan serangan besar-besaran ke berbagai kekuatan di NTT.
Hasilnya, banyak wilayah yang dikuasai Belanda, tetapi tidak dengan Sonbai.
Berselang beberapa saat kemudian, serangan ke Sonbai terjadi lagi di bawah pimpinan Residen Baron van Lynder.
Misi penangkapan Sobe Sonbai ini tetap gagal, tetapi beberapa prajurit dan menantu Sobe Sonbai II ditawan.
Belanda kemudian menerbitkan “Timor Traktat” yang berisi pembagian wilayah tanpa menghiraukan kedaulatan kerajaan. Traktat ini pun menyulitkan Sonbai dalam bertindak.
Pada masa kekuasan Sobe Sonbai III, perlawanan terhadap Belanda juga tidak surut. Salah satu upayanya adalah mendirikan benteng-benteng pertahanan.
Benteng-benteng yang didirikan oleh Sobe Sonbai III meliputi:
- Benteng Ektob, terletak di Desa Benu dan dijaga oleh O’neno dan Tean Suan.
- Benteng Kabun, dibangun di Desa Fatukona dan dijaga oleh Meo Kusi Nakbena dan Beu Ebnani.
- Benteng Fatusiki, lokasinya berada di Desa Oelnaineno dan dijaga oleh Meo Totosmaut.
Belanda yang telah kewalahan menaklukan Sonbai yang menentang sejak tahun 1700-an, kemudian melancarkan taktik.
Akhirnya, Sobe Sonbai III berhasil dikelabui dan ditangkap Belanda pada 1906.
Raja Sobe Sonbai III kemudian dibuang ke Sumba, beberapa lama kemudian dibawa kembali ke Kupang, dan meninggal pada 1923.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.