SOLO, KOMPAS.com - Penggugat Rp 204 triliun terkait uji materi gugatan batas usia capres-cawapres, tidak ingin kasus berhenti pada tahap mediasi.
Hal ini diungkapkan oleh penggugat alumni Universitas Sebelas Maret (UNS) Kota Solo, Ariyono Lestari, melalui kuasa hukumnya Zaenal Mustofa setelah sidang pertama pada Kamis (30/11/2023).
"Harus sampai putusan, supaya tidak abu-abu. Kita optimistis pasti menang dengan gugatan ini. Kita tunggu saja hakim nanti seperti apa. Toh baru pemeriksaan berkas," kata Zaenal Mustofa di Pengadilan Negeri Solo.
Zaenal mengatakan, dalam mediasi dipimpin Hakim Subagiyo masih mendiskusikan adanya perdamaian.
"Adapun tadi disampaikan oleh mediator Subagiyo, yang mana menginginkan perkara tetap bisa dengan damai. Tentu saja dengan pemenuhan poin-poin dari penggugat. Kalau damai bagaimana dari tergugat," katanya.
Saran dari hakim untuk berakhir pada mediasi atau pencabutan gugatan yang dilayangkan ke tergugat pertama Almas Tsaqibbirru hadir dalam persidangan dan tergugat kedua Gibran Rakabuming Raka. Serta, ikut tergugat Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Ya hakim menyarankan sebisa mungkin bisa damai, syukur-syukur dicabut. Namun demikian tapi kita mengajukan gugatan tidak asal-asalan, kalau memang damai ada hal yang mungkin bisa terpenuhi," jelasnya.
Baca juga: Besok Sidang Gugatan Rp 204 Triliun Soal Batas Usia Capres-Cawapres, Gibran: Sudah Ada yang Ngurus
"Ya memang ada berharap, untuk prinsipal ada etikat baik dari para tergugat agar ada penyelesaian yang baik. Kalau ada perdamaian jadi akte perdamian bisa untuk putusan jadi tidak ada banding. Maupun kasasi atau upaya hukum yg lebih tinggi. Kalau kita semasa apa yg menjadi tuntutan kita terpenuhi ya gimana tentu usaha perdamaian lebih baik," lanjutnya.
Di sisi lain, Zaenal mengatakan gugatan ini masuk akal. Oleh karena dugaan perbuatan melawan hukum yang dilakukan para tergugat.
Dia bersama Tim Kuasa Hukum Ariyono Lestari yang bernama Tim Giliran Berantakan (Giberan) menilai Almas mempermainkan forum uji materiil.
Pasalnya Almas sempat mencabut permohonan. Lalu menarik lagi pencabutan permohonan tersebut.
Selain itu, Almas dinilai telah melakukan kesalahan fatal karena memalsukan identitasnya dengan mengaku sebagai mahasiswa Universitas Negeri Surakarta.
Faktanya, Almas merupakan mahasiswa dari Universitas Surakarta berlokasi di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah (Jateng).
Oleh karenanya para tergugat wajib membiayai pendidikan politik kepada masyarakat yang tercatat sebagai daftar pemilih tetap (DPT).
"Jadi asumsi kita ganti rugi Rp 1 juta dikali 204 juta DPT. Jadi asumsi kita itu sudah masuk akal. Kalau kita mengacu pada pendidikan politik malah biayanya lebih besar lagi," tutupnya Zaenal.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.