Induk ayam menggunakan seluruh kekuatannya untuk melindungi anaknya dari serangan burung elang.
Dengan tekadnya yang kuat, induk ayam berhasil menggunakan kekuatan melampaui batasnya dan mengimbangi gerakan burung elang.
Versi ketiga di Nias selatan, yakni tari Moyo Fanaro Bato (elang mendirikan batu).
Baca juga: Tari Burung Enggang Asal Kalimantan Timur: Makna, Gerakan, dan Properti
Tari tersebut merupakan penghormatan kepada pemuda yang dianggap memiliki jasa besar dalam melindungi desa dari serangan musuh-musuh.
Sebab pada zaman dahulu, Nias sering terjadi perang, baik antar desa, sesama warga desa, maupun terhadap orang asing.
Terjadinya perang karena adanya provokasi orang asing yang ingin menguasai sumber daya alam, sektor perdagangan, dan memutuskan pengaruh Kesultanan Aceh atas wilayah lain di nusantara.
Saat masyarakat berhasil mengusir dan mendapatkan binu (potongan tubuh terdiri dari kepala dan tangan bagian kanan) dari musuh, para prajurit akan dianugerahi penghormatan.
Penghargaan tersebut berupa upacara fanaro bato yang diselingi dengan tari Moyo.
Syair-syair dalam tari Moyo berupa puji-pujian terhadap pehlawan, kemudian menobatkannya sebagai pahlawan.
Puncak acara penobatan adalah pengambilan batu besar dan panjang, kemudian didirikan di depan rumah mereka sebagai monumen dan bernama bato nitaru.
Tanda bahwa rumah tersebut dihuni oleh pahlawan perang.
Dalam acara Moyo Fanaro Bato harus ada latar belakang prajurit yang jumlahnya mencapai 60 orang dengan pakaian lengkap.
Mereka mengelilingi tari Moyo yang diselingi dengan doa-doa yang disampaikan oleh imam atau ahli nujum.
Versi ini berasal dari Pulau Telo Nias Selatan, dimana tari Moyo Fogawe Bekhu atau tari Moyo untuk memanggil makhluk halus.
Tidak banyak informasi mengenai versi ini karena mengandung unsur mistik.