BOGOR, KOMPAS.com - Sebuah video yang merekam aksi protes warga di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, menyebar di media sosial.
Dalam rekaman video itu tampak sejumlah warga yang diduga dari keluarga pasien terlibat "cekcok" dengan pihak rumah sakit.
Dinarasikan, aksi protes ini terjadi karena pihak RSUD Leuwiliang menyembunyikan ambulan yang seharusnya dapat digunakan untuk merujuk pasien ke RS lain.
Atas hal itu, sejumlah warga terlihat berteriak-teriak sambil memaki pihak RSUD Leuwiliang, di depan ruang IGD.
"Menurut keterangan ada pasien koma butuh ambulan, tapi ambulannya disembunyiin, akhirnya ketauan ambulannya ada di gudang RSUD Leuwiliang Bogor. Cr:tiktok@/selvidamayanti2707," tulis akun X (Twitter) @bogorfess_
Menanggapi video tersebut, Direktur Utama RSUD Leuwiliang Vitrie Winastri menegaskan narasi dalam video itu tidak benar alias hoaks (hoax).
"Itu tidak benar, hoaks," kata Vitrie saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (11/11/2023) kemarin.
Menurut dia, kejadian tersebut berawal dari adanya seorang pasien yang datang pada Kamis (9/11/2023) sekitar pukul 18.15 WIB.
Pasien itu mengalami kecelakaan dan diantar oleh satu orang temannya. Namun, Vitrie tak menyebutkan nama pasien tersebut.
Pasien pun diterima petugas IGD dalam keadaan sadar dan dapat berkomunikasi.
"Kemudian dilakukan pemeriksaan oleh dokter, mendapatkan terapi, dilakukan pembersihan luka, merawat luka, memasang spalk pada kaki kiri, memberikan suntikan obat penghilang nyeri," ujar dia.
Dokter memberikan penjelasan kepada keluarga bahwa kondisi pasien dalam keadaan sadar dan dapat berkomunikasi dengan baik.
Menurut Vitrie, pihak RS sudah menjelaskan bahwa pasien bisa dirawat di RSUD Leuwiliang.
"Untuk kondisi patah kakinya dan jika setelah pemeriksaan lanjutan dibutuhkan dokter spesialis bedah syaraf, maka akan dirujuk ke rumah sakit yang memiliki dokter spesialis bedah saraf," ujar dia.
Sebab, kata Vitrie, RSUD Leuwiliang belum memiliki dokter spesialis bedah saraf.
Dokter menjelaskan prosedur rujukan antar-rumah sakit harus melalui SPGDT (Sistem Pelayanan Gawat Darurat Terpadu).
Sehingga, rumah sakit yang akan menjadi tempat rujukan harus mengetahui kondisi dan kebutuhan pasien.
Setelah RS yang dituju siap menerima pasien, maka pasien akan diantar menggunakan ambulan didampingi oleh tenaga kesehatan RSUD Leuwiliang.
Namun, ketika dijelaskan prosedur rujukan berkali-kali, pihak keluarga tetap bersikukuh akan membawa pasien memakai kendaraan sendiri.
"Dokter melakukan edukasi ulang terkait prosedur SPGDT beberapa kali untuk menjaga agar kondisi pasien tetap stabil."
"Suami dan keluarga tetap menolak menggunakan sistem rujukan (SPGDT), dan tetap akan menggunakan kendaraan sendiri."
"Dan ternyata petugas rumah sakit melihat telah ada kendaraan yang menjemput pasien itu," papar Vitrie.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.