SEMARANG, KOMPAS.com-Dalam kurun waktu satu bulan telah terjadi tiga kasus bunuh diri mahasiswa di Kota Semarang.
Psikolog Universitas Semarang (USM) Probowatie Tjondronegoro menilai ada komunikasi yang tersumbat antara individu dengan teman dan keluarga yang menjadi pemicu terjadinya bunuh diri.
"Ada komunikasi yang tersumbat dalam keluarga atau di lingkungan sosial dengan teman-temannya," ujar Probo melalui sambungan telepon, Jumat (14/10/2023).
Baca juga: Polisi Duga Masalah Pinjol Jadi Pemicu Mahasiswi Udinus Semarang Bunuh Diri
Biasanya hal ini terjadi pada individu yang menjalin hubungan asmara dengan kekasihnya. Tak jarang anak muda yang berpacaran memilih meninggalkan lingkaran pertemanan dan memilih berduaan saja.
"Dia tidak punya teman dekat, tidak bisa sharing, saat berantem dengan pacarnya dia enggak bisa ngobrol sama temannya karena dia sudah meninggalkan kelompoknya. Jadi saat ditinggal cowoknya, habis dunianya," jelasnya.
Tak hanya itu, dengan derasnya arus informasi yang tak diimbangi kecerdasan emosial yang baik, kerap membuat anak muda tergiur mengakses pinjaman online (pinjol).
Menurutnya hal ini terjadi lantaran tingginya gaya hidup yang tidak berbanding lurus dengan penghasilan. Akhirnya banyak yang terjerat pinjol.
"Misal kepengen sesuatu, pinjol sangat menggiurkan. Untuk membiayai gaya hidup, dari melihat drakor, pakaian bagus, body bagus. Kemudian punya pacar itu juga rangsangan untuk tampil keren punya gandengan," ungkapnya.
Baca juga: Pacar Temukan Mahasiswi Udinus Semarang Meninggal di Kosnya, Diduga Bunuh Diri
Dosen USM itu menilai, perilaku bunuh diri terjadi karena pengendalian diri seseorang yang tidak bagus.
Meskipun secara kecerdasan intelektual anak muda terbilang pintar, tapi masih banyak yang memiliki kecerdasan emosi yang cakap.
"Padahal dalam bergaul tidak hanya butuh IQ, tapi EQ, kemampuan pengendalian diri, komunikasi, dan macam-macam," tuturnya.
Dia juga menyayangkan sikap orangtua yang lebih membanggakan prestasi akademik ketimbang kecerdasan emosional. Padahal keduanya sama pentingnya dalam menentukan kesusksesan.
"Kalau anak ramah baik itukan dianggap biasa saja, lumrah. Padahal yang membuat kita sukses dan tough (tangguh) 80 persen, itu IQ dan EQ," lanjutnya.
Lebih lanjut, ia juga melihat relasi di mana keluarga yang merasa paham anaknya dan anak sudah merasa pintar. Alhasil tidak ada komunikasi antara anak dengan orangtua.
"Jadi mereka jalan sendiri, saat salah sendiri. Semua komunikasi tersumbat. Mungkin dia dengan pemikirannya sendiri, tidak ada komunikasi dengan teman, bonding dengan keluarga juga tidak erat, bisa juga (terjerumus bunuh diri)," terangnya.
Pada intinya, bunuh diri ini bisa dicegah dengan komunikasi. Khususnya antara anak dengan orang tua. Kemudian anak pun harus berani membuka komunikasi dengan orang tua.
"Jadi anak diberi kesempatan untuk ngomong dulu. Kadang kan anak-anak enggak berani ngomong karena takut dimarahi. Tapi kalau orang tua tanya maunya anak, jadi bisa ada diskusi. Jadi harus saling peka dalam keluarga," tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.