Tim medis saat itu langsung memberi pertolongan pertama dengan resusitasi jantung paru atau RJP, namun tak berselang lama pasien dinyatakan meninggal dunia.
"Pasien hanya beberapa jam saja tadi di rumah sakit," ujarnya.
Kejadian yang menimpa putra kedua pasangan Adi Hendra dan Fatimah ini juga mengundang keprihatinan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima.
Pemkab Bima bahkan menuntut agar pemilik kuda yang ditunggangi AB bertanggung jawab atas insiden tersebut.
"Pemilik kuda harus tanggung jawab. Karena ini pada saat latihan, kalau sudah event itu baru menjadi tanggung jawab panitia dan Pordasi," kata Kepala Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan (Prokopim) Setda Bima, Suryadin.
Baca juga: Jadi Tuan Rumah PON 2028, Gubernur NTB: Tidak Ada Lagi Joki Cilik
Kepala Museum Kebudayaan Samparaja Bima, Dewi Ratna Muchlisa Mandyara berkomentar soal polemik tradisi pacuan kuda yang tengah menjadi sorotan di Bima.
Dia menegaskan, pacuan kuda dengan joki cilik merupakan tradisi baru yang diubah sendiri oleh para penggemar kuda di Bima.
Menurut catatan dan bukti sejarah yang ada, lanjut dia, pada masa dimulainya pacuan kuda di Bima Tahun 1925 silam, jokinya adalah anak usia remaja dan orang dewasa.
"Pacuan kuda dengan joki dewasa dan remaja itulah yang terjadi pada zaman dahulu. Kenapa tidak mengembalikan tradisi itu, joki cilik ini justru tradisi baru yang dibuat oleh para penggemar pacuan," kata Dewi saat itu.
Dewi menentang keras pacuan kuda dengan joki cilik yang mengatasnamakan tradisi.
Menurutnya, pacuan kuda adalah tradisi leluhur yang memang harus dipertahankan, tetapi penggunaan joki di bawah usia 10 tahun adalah pelanggaran, dan termasuk praktik eksploitasi anak.
"Pacuan kuda silahkan dilaksanakan tapi jangan gunakan joki cilik, itu tidak pernah dilakukan nenek moyang kita. Penggunaan joki cilik itu jelas melanggar dan bertentangan dengan tradisi leluhur kita di Bima," jelasnya.
Baca juga: Jadi Tuan Rumah PON 2028, Gubernur NTB: Tidak Ada Lagi Joki Cilik
Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Bima, NTB menyesalkan terjadinya kematian joki cilik yang terus berulang.
"Keprihatinan dan penyesalan kami adalah saat latihan yang diharap sebagai ajang mengasah keterampilan dan ketangkasan berkuda, namun tidak dibekali dengan alat pengaman," kata Ketua LPA Kota Bima, Juhriati saat dikonfirmasi Kompas.com, Minggu (13/8/2023).
Selama tak ada komitmen bersama untuk menyudahi pemanfaatan joki cilik, persoalan tersebut tak akan berakhir. Masih dimungkinkan terjadi duka-duka keluarga joki cilik lainnya.
"Sampai kapan nyawa para joki cilik tergadaikan di atas punggung kuda pacuan. Pacuan kuda adalah budaya yang harus dilestarikan, joki cilik bertentangan dengan perlindungan anak," jelasnya.
LPA Kota Bima sudah bersikeras menolak pacuan kuda dengan memanfaatkan joki cilik.
"Tantangannya belum sepaham antara pemerintah, penikmat kuda, dan LPA tentang pemanfaatan joki cilik," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.