Penghasilan kedua orangtua si bocah yang tidak seberapa, hanya cukup untuk makan sehari-hari, dan untuk keperluan si bayi.
Selain itu, anak-anak mereka tidak masuk sekolah, karena terkendala persoalan administrasi/kelengkapan data kependudukan.
"Keluarga mereka memiliki tujuh anak. Anak pertama dan kedua juga sudah bekerja di luar kota. Dengan kondisi ekonomi yang terbilang kurang mampu, si ibu mengizinkan anak keempat dan kelimanya, dibawa S untuk bekerja. Si Ibu juga baru tahu kalau anak-anak tidak boleh dipekerjakan seperti itu," jelasnya.
Dari pengakuan, S juga tidak bermaksud memanfaatkan kedua bocah tersebut untuk mengeruk keuntungan.
Karena nyatanya, S juga bekerja sebagai badut penghibur, dan membagikan penghasilannya kepada keluarga dua bocah yang dititipkan padanya.
"Kita sudah selidiki juga, tidak ada indikasi pedofilia dan sebagainya. Tindakan S, murni karena ingin membantu keluarga anak-anak tersebut meski caranya salah karena terkesan mengeksploitasi anak di bawah umur," tambahnya.
Baca juga: Bawa Anak, Pasutri Pengamen Badut di Bontang Dipulangkan ke Samarinda
Melihat kompleksnya kasus ini, Polisi kemudian meminta S dan ibu kedua anak pengamen badut, untuk membuat pernyataan tidak melanjutkan apa yang mereka lakukan.
Orangtua anak tidak boleh mengizinkan anaknya bekerja mencari uang sebagai badut di jalanan. Begitu juga S, dilarang mempekerjakan keduanya, apa pun alasannya.
Pernyataan tersebut, dibuktikan dengan surat yang ditandatangani keduanya.
"Kita sudah koordinasi dengan Dinas Sosial. Hasilnya Dinas akan segera mengurus sekolah keduanya. Pilihannya ada dua, kalau tidak di Yayasan Ruhama, akan dimasukkan Ponpes Hidayatullah. Tapi harus melalui asessmen dulu. Kita segera serahkan keduanya ke Dinsos," tutup Marta.
Fenomena pengamen badut di Nunukan, Kaltara, menjadi sorotan karena adanya anak-anak kecil yang berkeliaran di jalanan dan meminta minta di warung serta kafe pada jam sekolah.
Kepala Dinas Sosial Nunukan, Faridah Aryani, mengakui tidak ada pembenaran atas aksi para badut tersebut.
Baca juga: Per Jam Dapat Rp 500.000, Pasutri Pengamen Badut di Bontang Ini Nginapnya di Hotel
"Terjadi pergeseran pola pikir, di mana yang dulunya badut diundang sebagai penghibur di acara ulang tahun anak-anak, sekarang justru dipakai minta-minta, atau secara kasar mengemis. Ini memang harus ditertibkan," ujarnya.
Meski dibalut dengan pakaian badut yang terkesan lucu dan jenaka. Tradisi tersebut, hanya sebuah cara baru untuk membungkus kebiasaan buruk dari mengemis.
Bukan sekali, dua kali, Dinas Sosial Nunukan, melakukan penertiban, kata dia. Namun sepertinya, badut badut yang saat ini kembali ada, diduga kelompok baru.
"Sebelumnya kita sudah lakukan penertiban dan pembinaan. Anak-anak yang sekolah kita beri sepeda dan ibunya kita kasih modal usaha. Ada blender, dan semacamnya. Kalau yang sekarang ini, kelompok baru sepertinya," katanya lagi.
Dalam waktu dekat, Dinas Sosial, akan menggandeng sejumlah instansi untuk membahas masalah ini lebih komprehensif.
Karena pada prinsipnya, lanjut Faridah, budaya mengemis, meski dibalut dengan model apapun, tetap menjadi hal tercela, yang tidak dianjurkan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.