Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Penipuan-penipuan yang Membuat "Dengkul Bergetar"

Kompas.com - 03/07/2023, 07:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ARMILA (57) terus meratapi nasib “tabungan” anaknya yang tidak bisa ditarik. Anaknya yang bernama Ibrahim Alkalipi tidak menabung di Banque Nationale de Paris Paribas – bank yang biasanya terkait dengan dana-dana “haram” milik orang “tajir melintir” – tetapi menabung di SD Negeri 2 Kondangjajar, Kecamatan Cijulang, Pangandaran, Jawa Barat.

Sebagai ibu tunggal, mendapatkan pekerjaan di Pangandaran, Jawa Barat untuk seukuran usianya bukanlah perkara gampang. Pendapatan Rp 40.000 dari hasil kerja serabutan adalah hal yang patut disyukurinya (Kompas.com, 1/7/2023).

Ibrahim yang berasal dari keluarga melarat, sadar dengan perjuangan ibunya. Dia pun ringan tangan membantu orang yang membutuhkan bantuannya.

Sejumlah ibu-ibu di Pangandaran memperlihatkan tulisan uang tabungan anaknya yang belum dikembalikan pihak sekolah dalam pertemuan di samping SD Negeri 2 Kondangjajar di Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Sabtu (17/6/2023). Tribun Jabar Sejumlah ibu-ibu di Pangandaran memperlihatkan tulisan uang tabungan anaknya yang belum dikembalikan pihak sekolah dalam pertemuan di samping SD Negeri 2 Kondangjajar di Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Sabtu (17/6/2023).
Dari uang saku dan pemberian ibunya, saban ke pergi sekolah selalu disisihkan uang jajannya kepada guru-guru yang dihormatinya.

Dari catatan lusuh yang selalu disimpannya, Ibrahim memiliki tabungan Rp 4,4 juta hasil dia mengumpulkannya dari kelas 1 hingga 4 SD.

Tujuannya menabung seperti permintaan dan harapan para guru, uang yang ditabung kelak bisa digunakan untuk melanjutkan ke jenjang sekolah menengah pertama.

Ibrahim tidak sendirian. Widiansyah yang juga bersekolah di SD Negeri 2 Kondangjajar malah memiliki tabungan Rp 45 juta.

Tidak hanya di SD Negeri 2 Kondangjajar, ternyata praktik dan kelakuan guru yang tidak bisa “digugu” dan “ditiru” juga diikuti sekolah-sekolah di Kecamatan Cijulang dan Kecamatan Parigi di Pangandaran.

Hasil pemeriksaan Inspektorat Kabupaten Pangandaran, total uang tabungan siswa yang mandeg “hanya” di dua kecamatan, yakni di Cijulang dan Parigi mencapai Rp 7,47 miliar. Di antaranya yang dipinjam 62 guru dan belum bisa dikembalikan mencapai Rp 1,5 miliar.

Jika dirinci per kecamatan, di Cijulang uang tabungan siswa yang “parkir” di koperasi sekolah mencapai Rp 2.309.198.800, sedangkan yang “diutang” guru mencapai Rp 1.372.966.300.

Di Parigi, yang “diutang” para guru berjumlah Rp 77.662.500, sisanya yang berjumlah Rp 3.904.427.259 juga macet (Kompas.com, 28/06/2023).

Hingga hari ini, nasib tabungan ratusan mungkin juga ribuan siswa di Pangandaran masih “auh ah gelap” alias tidak jelas.

Guru-guru yang mengutang uang tabungan siswa sudah mengaku. Harusnya siapa yang mengelola uang tabungan siswa di koperasi dan salah mengelolanya harus bertanggungjawab penuh.

Tidak cukup hanya pihak inspektorat atau dinas pendidikan saja yang diturunkan oleh Pemerintah Kabupaten Pangandaran, tetapi pihak Polres Pangandaran juga harus memproses adanya pengaduan orangtua murid.

Dinas Pendidikan sebagai instansi vertikal yang menaungi para guru, bisa memaksa guru yang meminjam uang tabungan siswa untuk mengembalikan pinjaman.

Gaji guru yang dibayarkan melalui perbankan, bisa digunakan untuk pelunasan uang tabungan siswa yang dipinjamnya.

Relasi guru dan murid ibarat hegemoni kekuasaan

Berbicara soal relasi guru dengan murid, apalagi ini terjadi di daerah pelosok, kekuasaan dan status kedudukan guru begitu sangat dihormati oleh masyarakat.

Murid dan orangtua murid tentu sangat menghormati dan mengakui kapasitas keilmuan dan kedudukan guru sebagai pendidik.

Mereka mempercayakan uang tabungan “dipegang” oleh guru tanpa memperkirakan uang tersebut akan “dikemplang”.

Sebagian besar orangtua murid berasal dari keluarga semenjana yang berharap tabungan itu nantinya akan digunakan untuk kelanjutan pendidikan putra-putrinya.

Meminjam istilah Gramsci tentang hegemoni, relasi guru dengan murid, ibaratnya para guru dalam suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi.

Kekerasan tidak selalu diartikan dengan penggunaan fisik, tetapi kekerasan bisa juga dilakukan dengan verbal. Siswa yang terintimidasi karena takut tidak naik kelas atau berharap ada kemudahan nilai dari guru, menjadi alasan siswa untuk menabung.

Hegemoni bukan hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, tetapi hubungan persetujuan dengan mengunakan kepemimpinan.

Dengan demikian, berbeda dengan makna aslinya dalam bahasa Yunani yang berarti penguasaan satu bangsa atas bangsa lainnya, hegemoni dalam pengertian Gramsci adalah organisasi konsensus di mana ketertundukan diperoleh melalui penguasaan ideologi dari kelas yang menghegemoni.

Kasus tabungan siswa yang gagal dikelola dengan baik dan amanah oleh para guru di Pangandaran menjadi bukti “kegagalan” pihak perbankan melakukan literasi pengelolaan keuangan bagi kalangan muda.

Di zaman saya bersekolah dulu di SD Angkasa VI Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, di paruh 1978-an, siswa yang akan menabung diarahkan untuk menabung di Tabanas di kantor pos terdekat.

Di era sekarang yang katanya buka rekening tabungan bisa dilakukan lewat gadget di tangan, uang tabungan milik siswa Pangandaran berjumlah “jumbo” Rp 7,47 miliar bisa raib begitu saja karena melalui “mulut manis” para pendidik yang tidak tahu diri.

Di mana keberadaan bank milik Pemprov Jawa Barat yang bernama BPD Jabar? Di mana fungsi BRI yang konon katanya disebut bank milik pemerintah yang ada hingga di pelosok negeri?

Saya khawatir, trauma dan kebencian siswa terhadap guru-guru mereka yang “mengemplang” uang tabungan nantinya pada masa depan akan melihat profesi guru yang mulia menjadi “miring”.

Tindak kejahatan juga akan bisa direplikasikan pada masa yang akan datang karena faktor learning by doing, yang diterima anak didik sejak dini.

Kejahatan bisa dilakukan dengan “menyaru” menjadi sosok guru yang baik hati, tetapi faktanya adalah guru durjana penilap uang siswa yang tidak mampu.

Menabung bagi mereka bukanlah kemewahan, tetapi siasat dan cara agar pada masa depan bisa membantu orangtuanya jika kelak melanjutkan ke tahap sekolah yang lebih tinggi.

Si kembar Rihana Rihani penipu ulung

Nasib kelabu ratusan, bahkan ribuan siswa di Pangandaran yang tidak jelas pengembalian uang tabungan dari tangan guru hingga kini, juga menimpa dengan skala yang lebih besar terhadap puluhan korban pre-order ponsel berlambang apel.

Kasus penipuan yang melibatkan si kembar perempuan bernama Rihana-Rihani itu bermula dari postingan @kasusiphonesikembar di Instagram dalam beberapa pekan terakhir ini.

Puluhan korban dijanjikan Rihana dan Rihani akan mendapatkan gawai Iphone dengan harga jauh di bawah pasaran (Tempo.co, 7 Juni 2023).

Dari catatan polisi, ternyata sosok Rihana-Rihani bukan “pemain baru” dalam aksi “tepu-menepu”. Sejak 2021, ternyata nama duo bandit perempuan ini sudah dilaporkan oleh sejumlah korbannya ke hamba wet.

Licin bagai belut, rupanya polisi yang baru saja merayakan ulang tahunnya ke-77, ternyata sampai sekarang tidak kuasa menemukan jejak persembunyian Rihana-Rihani.

Semula duo penjahat ini ditengarai tinggal di Greenwood Townhouse 2, Cempaka Putih, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.

Polisi yang kehilangan jejak hanya bisa memastikan Rihana-Rihani belum sempat kabur ke luar negeri.

Yang mengagetkan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK mencatat dari hasil analisa pelacakan kasus penipuan pre order Iphone si kembar Rihana-Rihani baik melalui dana mutasi dari hasil transaksi penjualan fiktif itu mencapai Rp 86 miliar yang tersebar di 21 rekening milik Rihana-Rihani (Liputan6.com, 01 Juli 2023).

Sementara seorang ibu rumah tangga bernama Pungki yang menjadi reseller Iphone dari Rihana-Rihani kini berstatus tersangka dan ditahan sejak Mei 2023, lalu oleh Polsek Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.

Padahal Rihana-Rihani sebagai “otak kejahatan” baru dinyatakan Polda Metro Jaya sebagai tersangka dan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) bulan Mei 2023.

Artinya langkah Polsek Ciputat lebih “kemajon” daripada Polda Metro Jaya dalam menangani kasus yang sama, tetapi hanya berbeda dalam sisi pelakunya.

Penetapan tersangka yang disematkan kepada Pungki sebagai reseller, sementara otak pelakunya Rihana-Rihani belum dicokok menjadi pertanyaan besar dalam konstruksi penangangan pidana.

Perilaku jahat Rihana-Rihani tidak hanya berjejak di kasus pre orde gawai, tetapi juga terlibat dalam penipuan mobil rental. Kini tinggal keseriusan pihak kepolisian untuk mau atau tidak menuntaskan kasus ini.

Mencari Rihana-Rihani di era kemujaraban efek media sosial ibaratnya semudah membalikkan tangan. Jaringan kepolisian dari markas besar hingga level bhabinkamtimnas seharusnya secara teori mudah dikerjakan.

Rihana dan Rihani yang bekas pegawai honorer Biro Hukum Kementerian Perdagangan harusnya bisa mencerna nasihat sederhana dari orang tua-orang tua kita.

Mendiang ayah saya pernah berujar,”Ada dua jenis orang di dunia ini. Pemberi dan pengambil. Pengambil kelihatannya bisa makan enak, tetapi pemberi sudah pasti akan tidur lebih nyenyak.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com