Terjangan ombak saban hari membuat Tomi menderita kerugian.
Kelapa kering yang sudah siap jual rusak terkena air laut. Kini gudang pindah ke lokasi baru di Sungai Lokan yang berada jauh dari tepi laut. Gudang yang lama dibiarkan hancur dilumat laut.
Suyadi dari Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjelaskan, hutan mangrove melindungi ekosistem perairan, pantai, dan daratan.
“Mangrove membantu manusia untuk mendapatkan iklim dan cuaca yang paling aman untuk mencegah bencana,” kata Suyadi.
Selain itu, mangrove membentengi masyarakat pesisir dari abrasi dan gelombang besar, termasuk tsunami.
Bahkan secara ekologi, sebagai tempat berkembang biak kepiting, ikan dan udang. Termasuk menangkap sedimen untuk membentuk daratan.
Selain itu, stok karbon di hutan mangrove sekitar 1.023-1.083 metrik ton setiap 1 hektar.
Artinya, mangrove dapat menyerap ekuivalen karbon dioksida (CO2e) sampai 3.754-3.975 metrik ton setiap hektarnya.
Dengan kehilangan mangrove seluas 110 hektar, maka potensi kehilangan serapan karbonnya mencapai 437.250 metrik ton.
“Kalau mangrove terbuka, tentu akan melepas karbon. Itu berdampak langsung terhadap perubahkan iklim,” kata dia.
Annisa Fauziah, Koordinator Bidang Data dan Informasi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jambi menuturkan, wilayah pantai timur telah berubah.
Saat ini, pihaknya saban hari memberikan peringatan dini cuaca ekstrem, terutama periode Desember-Juni 2022-2023.
Bentuk cuaca ekstrem ini beragam, mulai dari angin kencang sampai gelombang tinggi.
Pada periode 2015-2020, tren kenaikan gelombang laut terus berubah. Terkadang mencapai 6-8 meter.
Begitu juga dengan kecepatan angin, senantiasa berada di atas rata-rata mencapai 30-40 kilometer per jam.
“Normalnya itu 10 kilometer per jam,” kata dia.
Selain itu, tren suhu bulanan terus menghangat sekitar 0,185 derajat secara akumulatif 10 tahun terakhir.
Semakin terbukanya mangrove di pantai timur, maka akan terus berkontribusi terhadap seringnya terjadi cuaca ekstrem seperti angin kencang, gelombang tinggi, dan petir, serta membuat masyarakat pesisir semakin rentang terhadap dampak krisis iklim.
Di antara Desa Sungai Sayang dan pantai Laut Natuna, hutan mangrove telah hilang ratusan hektar.
Lahan gundul itu menyisakan genangan air dan daratan yang ditumbuhi rumput liar.
Pohon-pohon mangrove yang tumbang membusuk terendam air, ada yang kering terpanggang matahari.
Semakin ke ujung lahan, desau angin menguat dan debur ombak terdengar.
Norma (37), salah satu warga Desa Sungai Sayang menuturkan, di tempat ini dia mencari kepiting dan udang sebelum hutan mangrove ditebang.
Dalam waktu lima jam, Norma mampu mendapatkan udang sebanyak 20 kilogram.
"Pergi habis magrib, pulang sebelum tengah malam," kata Norma.
Namun kini, di lahan yang sama tanpa mangrove, dia hanya mampu mendapatkan udang 5 kilogram dengan durasi mulai tengah hari sampai sebelum tengah malam.
Kerusakan mangrove yang telah terjadi hampir setahun membuat keluarga Norma ingin meninggalkan profesi sebagai nelayan.
Keluarga kecil nelayan ini sedang mengumpulkan modal untuk membeli tanah.
Suami Norma juga terpaksa melaut lebih jauh untuk mendapatkan ikan.
Untuk mencari ikan, kata Norma, suaminya membutuhkan biaya besar.
Mereka mengeluarkan uang lebih dari Rp 500.000 setiap melaut. Sementara pendapatan hanya berkisar Rp 700.000.
Selisih antara pendapatan dan pengeluaran yang begitu kecil membuat mimpi beralih profesi menjadi petani kelapa harus dilupakan.
Selain itu, waktu melaut nelayan kini lebih pendek. Selain diganggu angin kencang dan gelombang tinggi, mereka mengalami fase "laut mati" yang berarti pada waktu tertentu, lautan tidak memiliki arus bawah, sehingga nelayan kesulitan menjaring ikan.\
Ketika tidak bisa melaut karena cuaca ekstrem, Norma biasanya pergi ke hutan mangrove mencari kepiting dan udang.
Harganya lumayan, ukuran besar dan bisa laku Rp 100.000-Rp 120.000 per kilo. Sementara ukuran sedang sekitar Rp 80.000 satu kilogram.
“Setelah hutan mangrove ditebang, kami nelayan melaut lebih jauh. Modal banyak keluar, dapatnya untung-untungan, risiko juga tinggi,” kata Norma.
Norma berharap pemerintah memberikan bantuan modal. Pendapatan hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan menambal biaya pendidikan anak.
Hal yang sama dialami Tomi. Nelayan di Sungai Lokan ini juga merasakan dampak cuaca ekstrem di laut. Tidak hanya gelombang tinggi, kesulitan lain di saat laut mati.
“Gelombang tinggi sulit mencari ikan. Kalau laut mati (tanpa arus) juga tidak ada ikan,” kata Tomi.
Pendapatan nelayan pas-pasan, kalau tidak rugi. Cuaca yang tak mudah diprediksi dan pendapatan yang semakin berkurang, membuat sebagian besar nelayan menanggalkan profesi mereka dan memilih membuka kebun kelapa.
Kondisi sejumlah desa di Kecamatan Sadu sangat miris. Padahal, sudah tiga kali ganti bupati.
Daerah ini termasuk daerah tertinggal dan terisolasi. Hal ini juga tampak dari infrastruktur jalan masih buruk.
Arie Suryanto, pendiri Komunitas Cinta Hijau Pesisir Indonesia (KCHPI) menuturkan, penebangan mangrove seluas 110 hektar bermula ketika S, salah satu karyawan bagian kebun PT EWF yang mewakili perusahaan, membeli lahan warga.
Sebanyak 30 warga yang memiliki lahan seluas 130 hektar, ramai-ramai menjual tanah dengan harga bervariasi dengan total harga mencapai Rp 5,28 miliar.
Pembayaran dicicil sembilan kali, periode 2015-2016 dan semuanya dilakukan di kantor PT EWF.
Pembelian tanah di Desa Sungai Sayang ini diduga efek penetapan kawasan megaproyek pembangunan Pelabuhan Ujung Jabung di Desa Sungai Itik, Kecamatan Sadu oleh pemerintah pada November 2014 lalu.
Namun, pembangunan pelabuhan mangkrak setelah pandemi Covid-19 datang.
Pengusaha yang terlanjur membeli lahan memutar otak. Mereka membabat mangrove untuk ditanami sawit pada Mei 2022.
Arie mendatangi lokasi usai menerima informasi dari warga yang menyatakan mangrove ditebang sampai bibir pantai.
Arie dan warga berusaha menghentikan eksploitasi sepadan pantai. Namun, perusahaan mengabaikan dan tetap melanjutkan pekerjaan dengan menanam sawit.
Pada September 2022, pemerintah menyegel lahan itu. Dengan demikian, perusahaan harus mencabut sawit yang telah ditanam dan menghentikan aktivitas secara permanen.
Usai penyegelan, sambung Arie, perusahaan cuci tangan. Semua kesalahan dibebankan kepada S.
Mulai dari pembelian tanah warga, penebangan mangrove tanpa izin, dan penanaman sawit.
Menurut perusahaan tindakan tersebut dilakukan S secara pribadi.
S saat dihubungi Kompas.com enggan menjawab saat dimintai klarifikasi terkait penebangan mangrove seluas 110 hektar.