SAMARINDA, KOMPAS.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal mendorong agar ada perbaikan regulasi untuk para penambang rakyat di Kaltim khususnya untuk sektor batu bara yang banyak dilakukan secara ilegal sehingga menjadi legal.
Hal tersebut disampaikan Kepala Satgas III Direktorat Anti Korupsi Badan Usaha, Deputi Pencegahan KPK, Wahyu Hidayat usai menerima masukan saat berdialog dengan Asosiasi Pengusaha Pertambangan Rakyat (APPRI) di kantor APPRI Jalan Kemakmuran, Kota Samarinda, Kamis (22/6/2023).
Wahyu mengatakan tujuan dialog tersebut, selain pemetaan potensi korupsi di sektor pertambangan batu bara, juga mendorong perbaikan sistem untuk menutup celah korupsi yang selama ini banyak terjadi di sektor pertambangan tak berizin.
Baca juga: Belasan Tambang di Bandung Barat Tutup, Obyek Wisata Jadi Pilihan Lindungi Karst Citatah
“Perlu ada regulasi yang mengatur soal pertambangan rakyat ini secara jelas, biar ada solusi kegiatan pertambangan (batu bara) yang tak berizin didorong agar mereka menjadi legal. Kita pendekatannya perbaikan regulasi dan sistem,” ungkap Wahyu kepada Kompas.com usai dialog.
Wahyu menjelaskan, bahwa dampak dari kegiatan secara ilegal itu memunculkan banyak praktik korupsi, seperti pungutan liar, suap, gratifikasi hingga ke sejumlah pihak baik itu penegak hukum maupun penyelenggara negara.
Untuk itu, perlu ditutup celah praktik korupsi tersebut dengan regulasi yang jelas soal pertambangan rakyat ini.
“Karena memang tidak ada regulasi yang jelas soal pertambangan rakyat ini. Sekarang ini memang istilah ilegal itu karena belum dapat izin. Itu kan sesuatu kondisi yang disebabkan tidak ada regulasi yang jelas,” jelas Wahyu.
“Kita nanti minta Kementerian ESDM, KLHK, ini kondisinya seperti ini. Bagaimana kita mengatasinya, kita akan mendorong seperti apa regulasinya. Fungsi kami memfasilitasi. Kalau belum ada regulasi kita buat regulasi, kalau ada sistem yang kurang baik kita perbaiki. Jadi ada kepastian hukum, misal dokumen apa yang dipersyaratkan, berapa lama prosesnya, berapa biayanya, itu harus jelas,” sambung dia.
Sebagai informasi, pemetaan potensi korupsi di Kaltim oleh tim KPK tak hanya sektor batu bara, tim dari Deputi Pencegahan KPK yang dipimpin Wahyu mendatangi pelaku usaha lain seperti Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kaltim, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Kaltim, Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasiona Indonesia (GAPENSI) Kaltim, Real Estate Indonesia (REI) Kaltim dan lainnya.
Menurut Wahyu, seperti yang disampaikan APPRI, bahwa pemicu adanya aktivitas penambangan batu bara ilegal di Kaltim karena Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang diakomodir dalam UU Nomor 3/2020 tentang Minerba, tidak mencakup sektor batu bara.
IPR hanya mengatur sektor mineral non logam dan batuan atau biasa dikenal dengan istilah galian C. Hal itu dipertegas melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55/2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara.
“Nanti kita tanya ke tanya ke regulator. Alasannya kenapa? Nanti kita dorong di UU minerba yang baru diatur juga soal tambang rakyat ini biar jelas. Kalau di Sulteng kan nikelnya diatur tuh, kenapa batu bata enggak diatur di sini,” terang dia.
Dengan melegalkan penambangan batu bara ilegal, kata Wahyu, dapat menambah potensi pendapatan negara dan daerah. Karena, menurut APPRI, kata Wahyu, sekitar 70 persen batu bara yang keluar dari Kaltim diproduksi dari penambang ilegal yang skala kecil itu.
Menurut Wahyu, potensi kerusakan lingkungan skala besar justru dilakukan oleh perusahaan – perusahaan besar yang memiliki izin, ketimbang penambangan rakyat skala kecil ini yang tak berizin. Karena kerusakan skala kecil, maka mudah direhabilitasi.
“Jadi pelaku tambang (ilegal) itu bekerja di lahan masyarakat, diminta oleh masyarakat, alatnya (eksavator) yang bekerja pun hanya satu. Jadi kedalaman penambangan pun tdak begitu dalam, mungkin sekitar 10 meter. Dan itu memungkinkan untuk ditutup kembali setelah selesai,” terang Wahyu.
Baca juga: Demo Masyarakat di Perusahaan Tambang Konawe Ricuh, 1 Polisi Terluka