Jika dalam tenggat waktu dua bulan permintaan mereka tak kunjung dikabulkan, maka ia mengeklaim sang pilot akan fibunuh.
“Kan namanya sandera itu tidak bisa dibebaskan tanpa syarat, karena aturan begitu. Orang sandera itu punya maksud, tujuan. Maka tujuannya sampai baru bisa lepas,” katanya.
Ia kemudian mengkritik para pegiat HAM yang menyuarakan agar pilot itu dibebaskan dengan alasan kemanusiaan. Sebab, menurut dia, Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM berat terhadap masyarakat Papua.
“Mereka tidak pernah bicara tentang orang Papua yang dibunuh Indonesia 60 tahun ini. Indonesia bunuh kami, mereka tidak pernah bicara mereka tidak pernah bahas Indonesia ke pengadilan internasional,” katanya.
Tuduhan Sebby ini tidak menggambarkan kenyataan secara menyeluruh, karena para pegiat HAM - termasuk Komnas HAM - sudah mempersoalkan berbagai pelanggaran HAM di Papua, walau tidak semua ditindaklanjuti oleh pemerintah.
Lebih lanjut, Sebby mengatakan bahwa Philip Max Mehrtens bukan merupakan individu yang ‘tak bersalah’. Sebab, menurut dia, Philip mengantongi surat izin terbang dari TNI ke wilayah Papua.
“Orang pilot itu kami sudah bilang jelas-jelas dia kan bekerja untuk Indonesia. Jadi dia bagian dari pada kedudukan di Papua, menjajah kami, menduduki kami untuk mengambil hak kami.
”Kami sudah menemukan surat izin itu. Itu artinya dia kan dibawah kendali Panglima TNI menyerangkan pesawat tugas di Papua. Dia kan melayani Indonesia, antar-antar segala polisi selama ini,” ungkap Sebby.
Pernyataan Sebby tentang 'surat izin terbang' sang pilot ini belum terklarifikasi.
Oleh karena itu, ia meminta agar pemerintah Indonesia segera menjalankan negosiasi dengan pihak Selandia Baru dalam rangka merundingkan kemerdekaan Papua demi menyelamatkan pilot Philip Max Mehrtens.
“Kami kan yang baik untuk negosiasi. Tapi Jakarta juga tolak, Selandia Baru juga tolak. Itu kan lucu.
“Karena Jakarta, jadi Panglima Egianus kasih warning. Harus cepat bergerak, bertindak, memulai. Kira-kira paham, harus bergerak memulai,” katanya.
Penyanderaan pilot Susi Air berkewarganegaraan Selandia Baru, Philip Max Merthens yang diduga dilakukan KKB pimpinan Egianus Kogoya sudah berlangsung hampir empat bulan, sejak 7 Februari 2023.
Pilot tersebut disandera oleh kelompok pimpinan Egianus Kogoya, TPNPB-OPM, yang membakar pesawat Susi Air di Lapangan Terbang Distrik Paro, Nduga, Papua Pegunungan.
Pihak TPNPB-OPM telah berulang kali menggambarkan kondisi pilot yang masih berada di dalam tahanan mereka.
Kelompok itu mengirimkan sejumlah video yang menunjukkan sang pilot berbicara mengenai keadannya sambil berdiri di samping para anggota kelompok yang memegang senjata.
Dalam video terbaru yang dikirim oleh juru bicara TPNPB-OPM, Philip terlihat duduk bersebelahan dengan Egianus Kogoya berkata bahwa TPNPB-OPM memberi waktu dua bulan kepada Indonesia dan Selandia Baru untuk berdialog soal kemerdekaan Papua.
Baca juga: Kapolda Papua Bahas Pembebasan Pilot Susi Air dengan Pimpinan Gereja, Ini Hasilnya
Kapolda Papua, Irjen Mathius D Fakhiri, mengatakan pihaknya masih memaksimalkan upaya negosiasi untuk membebaskan pilot Susi Air berkebangsaan Selandia Baru, Philip Max Mehrtens.
Salah satunya dengan menggandeng Dewan Gereja serta Uskup. Selain itu, Polri juga membuka pintu untuk Komnas HAM.
Mathius menambahkan, Polda Papua juga sudah mengirim tim khusus yang akan mengawal proses negosiasi.
Keputusan menempuh jalan negosiasi ini diambil usai lima prajurit TNI tewas dalam baku tembak dengan TPNPB-OPM di Kabupaten Nduga yang sedang melakukan operasi penyergapan ke lokasi penyanderaan.
Insiden pada akhir April lalu itu membuat Panglima TNI Yudo Margono memerintahkan anggotanya menggelar operasi siaga tempur darat di beberapa wilayah yang dianggap rawan di Papua.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.