Meskipun pekerjaan yang digeluti sangat berat, tapi Edy merasakan profesinya ini membawa berkah baginya.
Ia bisa membawa pulang uang yang cukup untuk menafkahi anak dan istri.
“Saat itu saya mulai berpikir, mungkin ini jalan yang terbaik bagi saya. Saya hanya tamat SMA, tidak banyak yang bisa dilakukan,” ucap Edy, saat berbincang dengan Kompas.com di Pasar Aur Bukittingi, Rabu (15/3/2023).
Ada satu momen yang membuat Edy sangat terpuruk, yaitu saat Indonesia dilanda krisis moneter pada tahun 1998.
Tak hanya perekonomian yang lumpuh, ekonomi Edy dan keluarga juga ikut runtuh.
Saat itu, Pasar Aur Kuning lesu, tak banyak aktivitas jual beli. Harga barang melambung tinggi.
Edy masih mencoba peruntungan menjadi kuli angkut meski uang yang didapatkan tak seberapa.
Beruntungnya, orangtuanya memiliki sawah yang bisa digarap untuk mendapatkan beras. Masa sulit itu terus berlanjut hingga tahun 2000an.
“Saat itu saat terburuk bagi seluruh orang, termasuk saya,” kenangnya.
Seiring keadaan ekonomi yang membaik, pendapatan Edy juga ikut meningkat.
Pasar Aur Kuning kembali ramai dan tentunya ini menguntungkan bagi Edy. Ia semakin bersemangat menghidupi enam anaknya.
Sang majikan sangat senang dengan etos kerja Edy hingga majikannya membantu Edy untuk membangun rumah.
Edy bisa mendapat upah Rp 50.000 per hari dari kuli angkut. Namun, jika pasar sedang ramai, seperti di hari Rabu, Sabtu, dan Lebaran, dia bisa membawa pulang uang hingga Rp 300.000.
“Kalau sedang ramai seperti hari pakan dan bulan puasa, pagi setelah shalat Subuh sudah harus berangkat,” ucap Edy.
Dengan kerja keras, Edy bisa menguliahkan empat anaknya.