Secara filosofis bulus tersebut menggambarkan tahun pembangunan Masjid Agung Demak yaitu 1401 Saka.
Lebih lanjut, bulus memang menjadi simbol Masjid Agung Demak yang dibuktikan dengan adanya berbagai ornamen bergambar bulus di dinding masjid.
Masih di dalam Masjid Agung Demak, terdapat soko tatal yaitu merupakan tiang utama penyangga rangka atap masjid yang bersusun tiga.
Disebut soko tatal karena dibuat dari serpihan kayu (tatal) yang ditata dan dipadatkan, kemudian diikat sehingga membentuk tiang yang rapi.
Soko tatal berjumlah empat buah yang menghadap pada empat penjuru mata angin dengan tinggi 1,630 cm.
Soko tatal merupakan simbol dari para wali yang ikut membangun Masjid Agung Demak.
Soko tatal di barat laut adalah buatan Sunan Bonang, di barat daya adalah buatan Sunan Gunung Jati, di bagian tenggara adalah buatan Sunan Ampel, dan bagian timur laut adalah buatan Sunan Kalijaga.
Soko Majapahit adalah tiang berjumlah delapan buah yang berada di serambi Masjid Agung Demak.
Soko Majapahit adalah hadiah dari Prabu Brawijaya V yang diberikan kepada Raden Patah ketika menjadi Adipati Notoprojo di Glagahwangi Bintoro, Demak, pada 1475 M.
Surya Majapahit adalah gambar hiasan segi delapan yang kerap digunakan pada masa Kerajaan Majapahit.
Adapun Surya Majapahit yang berada di Masjid Agung Demak diperkirakan dibuat pada 1479 M.
Pintu Bledeg adalah sebuah pintu kayu berukir di Masjid Agung Demak yang dianggap mampu menahan petir.
Pintu Bledeg konon dibuat oleh Ki Ageng Selo memiliki candra sengkala yang berbunyi Nogo Mulat Sarira Wani, dengan makna yaitu tahun 1388 Saka atau 1466 Masehi.
Konon ukiran di Pintu Bledeg adalah gambar petir yang ditangkap dan digambar oleh Ki Ageng Selo di masa Walisongo.
Bledeg yang ditangkap kemudian dibawa ke hadapan Raden Patah dan Walisongo, di mana kemudian Ki Ageng Selo diperintahkan untuk menggambar bentuk bledeg tersebut.