Adanya kandungan garam di Bledug Kuwu dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk membuat garam secara tradisional.
Garam yang dihasilkan di sekitar Bledug Kuwu biasa disebut garam bleng atau garam Kuwu.
Hal ini sangat menarik karena posisi Bledug Kuwu ini sangat jauh dari laut.
Keberadaan petani garam dapat terlihat dari adanya parit yang mengalirkan air dari Bledug Kuwu dan bilah-bilah bambu yang disebut klakah.
Klakah tersebut digunakan untuk menjemur air di bawah sinar matahari hingga terbentuk kristal-kristal garam.
Dikutip dari pemberitaan Tribunnews.com, garam bleng memang sudah terkenal sejak dulu kala.
Pada zaman keemasan Kasunanan Surakarta bahkan garam bleng dari Kuwu sudah biasa dijadikan pelengkap makanan masyarakat Mataram.
Walau begitu, saat ini produksi garam Kuwu yang sudah dilakukan turun temurun oleh warga sekitar memang tidak sebanyak dulu.
Seperti banyak tempat di Indonesia, keberadaan Bledug Kuwu juga tak lepas dari legenda Aji Saka yang dipercaya masyarakat setempat.
Legenda ini menceritakan keberadaan sosok Dewata Cengkar, raja di Kerajaan Medang Kamulan pada sekitar abad ke-7 Masehi.
Dewata Cengkar dikenal gemar memakan daging manusia, namun sayangnya tidak ada yang bisa mengalahkan kesaktian sang raja.
Hingga kemudian datang seorang pengembara bernama Aji Saka yang berani menantang adu kesaktian dengan Dewata Cengkar.
Adapun permintaan Aji Saka kepada sang raja adalah, jika tubuhnya dimakan maka tulang-tulangnya harus ditanam dalam tanah seukuran lebar ikat kepalanya.
Ikat kepala sakti Aji Saka itu kemudian digelar yang ternyata berubah menjadi melebar dan menggeser tempat Dewata Cengkar berdiri.
Seiring dengan makin melebarnya ikat kepala Aji Saka, Dewata Cengkar terus bergeser hingga akhirnya tercebur di Laut Selatan.