DENPASAR, KOMPAS.com - Tumini masih mengingat malam itu, saat bom meluluhlantakan Paddy's Pub di Kuta Bali, Sabtu 12 Oktober 2002 tepat 20 tahun lalu.
Ibu tiga anak ini, menjadi salah seorang korban serangan bom yang merenggut nyawa lebih dari 200 orang dan melukai ratusan orang lainnya.
Ia masih bekerja sebagai bartender, saat bom berjenis TNT dengan berat 1 Kilogram itu meledak sekitar pukul 23.05 Wita.
Akibat peristiwa tersebut, ia mengalami luka bakar 45 persen, usus terburai, dan di beberapa bagian tubuhnya masih tersimpan serpihan puing ledakan bom tersebut.
Hingga saat ini masih ada serpihan di payudara Tumini sebelah kanan. Dokter menganjurkan untuk dioperasi. Tapi ia enggan.
Baca juga: Abdul Ghoni, Terpidana Kasus Bom Bali I, Kini Tekuni Seni Kaligrafi Timbul di Lapas Semarang
"Biarkanlah dia tidak mengganggu dengan saya, jadi saya biarin sampai sekarang," kata dia dalam pertemuan para penyintas Bom Bali 1 secara virtual pada awal Oktober 2022.
Tumini mengenang, pada malam kejadian, dia sempat dilarang suaminya untuk masuk kerja. Tapi dia tetap memutuskan bekerja lantaran biasanya pada akhir pekan Paddy's Pub Kuta ramai dikunjungi wisatawan.
Namun, saat sedang meracik minuman untuk para pelanggan, tiba-tiba bom bunuh diri meledak di tengah para pengunjung pub.
Ledakan itu membuat Tumini bersama para korban berlari berhamburan keluar dari Paddy's Pub untuk menyelamatkan diri. Tumini berlari dalam kondisi tubuh masih terbakar api.
Api baru padam ketika dia mejeburkan diri ke dalam kolam renang yang terletak di belakang Paddy's Pub.
Setelah dirasa api di tubuhnya padam, Tumini masuk ke hotel.
"Ada hotel masuklah saya ke situ, akhirnya padam api tapi bukannya tambah dingin, cuman apinya yang padam tapi badan tambah panas rasanya," kata dia.
Tumini mengungkapkan, saat itu dia ditolong oleh seorang warga negara asing (WNA) yang menemukannya dalam kondisi meringis kesakitan kerena luka bakar dan usus terburai.
Baca juga: Mengenal Ground Zero, Monumen Peringatan Tragedi Bom Bali
WNA itu kemudian memanggil Ambulance agar Tumini segera dievakuasi ke RSUP Sanglah Denpasar (sekarang RSUP Prof Ngoerah).
"Habis itu ada bule, saya ditolong, dia angkat, dia lepas bajunya untuk mengelap badan saya. Habis itu dia panggil ambulans. Ini parah. Karena saya harus pegang usus saya, karena saya takut isi perut saya keluar semua," kata dia.
Tumini menuturkan, setiba di RSUP Sanglah dia ditempatkan di sebuah lapangan dan tidak lansung mendapat perawatan dari para petugas medis.
Ia menunggu kurang lebih enam jam untuk dirawat. Itu pun setelah suaminya datang dan mendesak para petugas medis untuk segara menanganinya.
Ketika sudah dirawat, dia juga tidak disuntik obat bius untuk mengurangi rasa sakit saat dioperasi pengangkatan kulit yang terbakar.
Tumini mengatakan, kondisi itu membuat suaminya sempat emosional dan marah ke dokter di rumah sakit.
Baca juga: Korban Bom Bali Kecam Usulan Fadli Zon soal Pembubaran Densus 88
"Akhirnya dokternya jawab Pak jangan emosi karena banyak korban. Pak silakan Pak bawa, Akhirnya saya dibawa pake dipan, dirawat tanpa dikasih bius sama dokter langsung kayak orang potong ayam, digunting-gunting, saya teriak 'dok jangan semua karena saya enggak kuat', tapi dokter bilang kalau enggak bisa selesai sekarang besok infeksi susah sembuhnya," kata dia.
Tumini mengatakan, saat itu kemauan untuk tetap hidup sangat besar karena dia mengingat dua anaknya masih kecil. Dia tidak ingin kedua anaknya tumbuh besar tanpa adanya seorang ibu.
"Akhirnya mau enggak mau saya harus kuat enggak usah lawan penyakit itu, karena saya mengingat anak-anak saya masih kecil. Alhamdulillah saya sedikit demi sedikit kondisinya membaik dengan luka bakar 45 persen," katanya.
"Jadi saya setelah bom Tuhan berkata lain, saya dikasih tambahan momongan sekarang kelas II SMP. Dia juga dapat bantuan dari KIP (Kartu Indonesia Pintar). Kita tinggal berusaha untuk membesarkan dia biar sukses," tambahnya.
Baca juga: Dalang Bom Bali I Zulkarnaen Divonis 15 Tahun Penjara
Tumini rencananya melakukan operasi pemotongan usus yang membusuk pada Oktober 2022 ini. Biaya operasi medis ditanggung oleh pemerintah.
"Nah sudah sekian lama 20 tahun, sekarang akhirnya dia (usus) bermasalah membusuk di dalam akhirnya mau dipotong dengan 1 sentimeter. Saya sudah berkomunikasi dengan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) bahwa saya mau saya operasi dan alhamdulillah disetujui karena itu sakit dari ledakan," kata dia.
Seperti diketahui, tragedi Bom Bali I itu disebut sebagai peristiwa terorisme terparah dalam sejarah Indonesia.
Kala itu bom meledak di Sari Club dan Paddy's Pub Kuta dalam waktu hampir bersamaan pada 12 Oktober 2002. Tragdi ini merengut 202 jiwa melayang serta 209 orang luka-luka. Korban terbanyak adalah warga negara asing.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.