Setiap penari memiliki resiko terkena sabetan yang membuat tubuh luka, namun tidak ada dendam di antara penari.
Di sela-sela permainan, para tetua adat baik laki-laki maupun perempuan menari (danding) dan bernyanyi (mbata) penuh suka cita sambil berjalan teratur membuat lingkaran.
Tari Caci memiliki aturan bahwa pemainan hanya boleh memukul bagian-bagian tertentu dari tubuh lawan.
Pemain caci hanya boleh memukul tubuh lawan bagian pinggang ke atas. Sedangkan di bagian bawah ditandai dengan kain yang menjuntai, sebagai tanda tidak boleh dipukul.
Bagian kulit tubuh yang boleh dipukul adalah bagian punggung, dada, lengan termasuk mata menjadi sasaran cambuk pemain lawan.
Pemain dinyatakan kalah saat pecut yang di bagian ujungnya terpasang kulit tipis kerbau mengenai bagian mata.
Baca juga: Mengenal Tari Caci, Pertarungan Masyarakat Manggarai
Tarian yang berupa permainan ini dilakukan secara sportif. Kedua penari saling berganti peran dan seorang penari hanya melakukan sekali pukul.
Peraturan semakin seru dengan teriakan penonton. Namun tarian ini dibatasi waktu, meskipun ada yang terluka tidak meninggalkan rasa dendam bahkan meningkatkan persaudaraan, persatuan, dan persahabatan.
Luka yang dialami sebagai lambang keperkasaan dan kejantanan seorang pemain caci.
Dalam tari caci tidak diperkenankan pemain adalah saudara kandung, saudara sepupu dekat, keluarga tetangga (paang ngaung) satu warga kampung, kenalan dekat maupun (kae reba).
Syarat peserta itu karena mereka telah dianggap sebagai saudara atau keluarga.
Bagi masyarakat NTT, tari caci memiliki fungsi untuk kehidupan sehari-hari.
Pertunjukan tari caci menumbuhkan interaksi sosial. Interaksi dan komunikasi antar masyarakat semakin kuat.
Interaksi dimulai dari persiapan tari caci bahkan saat masak bersama.
Estetika tari caci ditunjukkan melalui pakaian yang dikenakan, musik yang dimainkan, hingga keindahan bahasa yang digunakan selama permainan.