GORONTALO, KOMPAS.com – Para tokoh Gorontalo mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada 23 Januari 1942, jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Pernyataaan kemerdekaan Indonesia dilakukan di lapangan yang dihadiri banyak orang.
Lapangan ini tepat berada di depan rumah asisten residen Gorontalo, sekarang bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas gubernur.
Di sekitar lapangan berjejer rumah-rumah pejabat Pemerintah Hindia Belanda, juga ada hotel Velberg yang beroperasi tahun 1900 di sebelah baratnya.
Deklarasi kemerdekaan ini dibaca Nani Wartabone, seorang petani tokoh masyarakat Gorontalo yang pemberani.
Baca juga: Pemkot Gorontalo Mulai Gelar Booster Dosis Kedua bagi Tenaga Kesehatan
Dia juga sebagai ketua Komite 12, gabungan masyarakat sipil Gorontalo yang berjuang untuk kemerdekaan.
“Deklarasi kemerdekaan dibacakan Nani Wartabone di tanah lapang yang sekarang dikenal sebagai Lapangan Taruna Remaja oleh Nani Wartabone,” kata Retno Sekarningrum, sejarawan Gorontalo, pada Selasa (16/8/2022).
Retno Sekarningrum mengatakan, Komite 12 ini pada awal dibentuk tidak untuk menyiapkan kemerdekaan Indonesia, namun untuk mengantisipasi aksi bumi hangus yang dilakukan oleh polisi khusus Hindia Belanda atau Vernielings Corps.
Mereka ingin menyelamatkan masyarakat dan aset daerah dari upaya penghancuran yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda.
Aksi bumi hangus ini dipicu kemenangan bala tentara Jepang atas sekutu di wilayah di Indonesia dan negara sekitar.
Agar aset vital di Gorontalo tidak jatuh ke tangan Jepang, Pemerintah Hindia Belanda memerintahkan Vernielings Corps untuk membakarnya.
Rencana bumi hangus ini bocor ke telinga para tokoh Gorontalo ini, mereka melakukan pertemuan rahasia mencari upaya untuk mencegah aksi destruktif ini.
“Alasan terbentuknya Komite 12 sederhana ini. Namun, seiring kondisi daerah dan perjalanan waktu, para tokoh Komite 12 membaca bahwa saat itu adalah saat yang tepat untuk melakukan pengambilan kekuasaan menggulingkan Pemerintah Hindia Belanda dengan melakukan penangkapan,” tutur Retno Sekarningrum.
Kondisi Gorontalo pada saat itu orang-orang di pemerintahan Hindia Belanda sedang bersiap meninggalkan daerah ini sambil menghancurkan fasilitas penting.
Di sisi lain, bala tentara Jepang yang akan memasuki Gorontalo belum juga datang.
Komite 12 yang baru terbentuk beberapa hari sebelumnya menilai saat itu merupakan kondisi dan situasi yang tepat untuk melakukan kudeta Pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa di Gorontalo.
Para tokoh Komite 12 ini adalah Nani Wartabone sebagai ketua, Koesno Dhanoepojo sebagai wakil ketua, Oe Boeloati juga sebagai wakil ketua, anggotanya terdiri dari Usman Hadju, Usman Tumu, AG Usu, M Sugondo, RM Dhanu Watio, Sagaf Alhasni, Hasan Badjeber, AR Oeintoe dan Usman Monoarfa.
Para tokoh ini, terutama peran Nani Wartabone lalu menggerakkan masyarakat yang telah dilatih untuk mendatangi pusat kota, melakukan penangkapan dan perlucutan senjata tokoh pemerintahan kolonial saat itu.
Hebatnya, dalam peristwa ini tidak ada bentrokan fisik, tidak ada tembak-menembak sehingga kekerasan dapat dihindari.
Baca juga: Tersandung Dana Hibah, Mantan Ketua KONI Ditahan Polda Gorontalo
Semua petinggi pemerintahan kolonial saat itu langsung diamankan digiring ke penjara yang letaknya tidak jauh dari rumah asisten residen.
Di saat yang sama sejumlah orang juga mengamankan obyek vital seperti Posts Telegraafend Telefoon Dienst atau perusahaan jawatan Pos, Telegram dan Telepon (PTT) yang berhadapan dengan kantor Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) dan rumah kontrolir.
Usai melakukan penangkapan dan pengamanan obyek vital oleh masyarakat sipil ini, para tokoh komite 12 dan masyarakat menuju lapangan.
Di tengah-tengah lapangan ini Nani Wartabone dengan lantang membacakan deklarasi kemerdekaan Indonesia, yang kemudian diikuti pengibaran bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan. Peristiwa bersejarah ini terjadi pada 23 Januari 1942.
“Sehingga kami warga Gorontalo selalu memeringati peristiwa ini setiap tanggal 23 Januari, kami menyebutnya dengan istilah Hari Patriotik,” kata Melki Amu, seorang guru di Suwawa.
Atas keberanian dalam perjuangan ini, Nani Wartabone dianugerahi Pemerintah Indonesia dengan gelar Pahlawan Nasional.
Perjuangan ini juga yang memberi energi positif bagi pergerakan nasionalsime di sekitar Gorontalo. Daerah-daerah di Teluk Tomini terinspirasi untuk bangkit melawan penjajahan.
Di lapangan Taruna Remaja ini juga berdiri patung Nani Wartabone, ia bertopi dan memegang senjata ringan di tangan kiri, tangan kanan menunjuk ke arah kantor pos.
Patung ini seakan mengatakan di bangunan kantor pos inilah dimulainya perebutan kekuasaan kolonial oleh masyarakat sipil Gorontalo.
Nani Wartabone telah lama wafat, ia dimakamkan di halaman samping rumahnya. Di sampingnya juga bersemayam istri tercinta Aisa Tangahu.
Makam ini terletak di Kecamatan Suwawa Kabupaten Gorontalo.
Di rumah peninggalan almarhum ini juga masih tersimpan peninggalan penting almarhum, terutama buku-buku tua berbahasa asing.
Baca juga: Temuan Keramik Kuno Asal Inggris dan Cerita Penambangan Emas di Gorontalo
Atas perjuangan dan dedikasi mengabdi pada Indonesia selama hidup, masyarakat Gorontalo memberi gelar adat (pulanga) talo duluwa lo lipu yang berarti sang pembela negeri.
Melki Amu mengungkapkan, setiap Hari Patriotik 23 Januari makam Nani Wartabone selalu ramai dikunjungi masyarakat, bahkan pemerintah daerah selalu menggelar kegiatan di sini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.