Proses tradisi atau hukum adat ini diawali oleh prosesi tutup sasi dan diakhiri dengan buka sasi.
Prosesi sasi akan dilakukan di pusat sasi disebut batu kewang dipimpin oleh kewang desa bersangkutan.
Di lokasi tersebut akan dibacakan siriwei (ucapan tekat) oleh kapitan, memberikan nasehat dan disebarluaskan oleh marinyo (pembantu Raja yang bertugas menyampaikan berita kepada seluruh masyarakat) dengan menggunakan tabaos.
Larangan itu dinyatakan dengan matakao sebagai simbol kepemilikan.
Secara adat, pelaksanaan sasi ditentukan oleh hasil Rapat Dewan Adat (Saniri) yang wajib dilaksanakan Kepala Kewang (Latukeang, Kewano).
Kewang yang bertugas di darat disebut Kewang Darat dan yang bertugas di laut disebut Kewang Laut.
Dalam menjalankan tugas mereka dibantu oleh sekel masing-masing untuk lingkungan darat dan laut, serta 40 kewang yang lain.
Kewang dipilih oleh Malesi, Pela, Denia, Waelo, Luhukay, Tuhepory Sela, Maujet Tung, Toyanate Latu.
Kegiatan sasi diawali dengan proses tutup sasi, yaitu masa berlakunya larangan.
Pada waktu yang telah ditentukan kepala kewang (petugas keamanan desa) dan para pembantunya menanam tanda-tanda sasi di sekeliling perbatasan desa di darat dan di laut
Tanda-tanda sasi adalah potongan-potongan kayu bakar atau bambu yang dibungkus menggunakan anyaman daun kelapa mirip ketupat.
Sasi biasanya berlangsung dalam jangka waktu sekitar 3 sampai dengan 6 bulan .
Sepanjang sasi berlaku, kewang dan pembantu-pembantunya akan memeriksa dengan meniup kulit bea (siput) besar serta meneriakan kata “Sill eee!” yang sama artinya dengan “sasi!”
Teriakan itu disambut warga dengan meneriakkan “Seke eee!”, berarti “semoga menjadi kuat!”.
Upacara yang sama dengan acara buka sasi, dilakukan pada malam hari karena pada waktu malam arwah leluhur akan berkumpul di baileu.