KOMPAS.com - Kasus kekerasan di sekolah masih sering terjadi di berbagai daerah, yang terbaru kasus kekerasan dialami oleh seorang siswa MTs di Kotamobagu, Sulawesi Utara, berinisial BT (13), korban tewas diduga akibat dianiaya teman di sekolahnya.
Orangtua korban menyebut, anaknya tewas setelah dipukuli oleh teman-temannya dengan mata ditutup setelah habis ulangan.
Sebelumnya, kaus serupa juga dialami oleh seorang siswa Sekolah Dasar (SD) di Binjai, Sumatera Utara, berinisial MIA (11). Korban tewas diduga dikeroyok oleh enam temannya.
Dengan adanya kasus ini, tentunya menjadi perhatian pulik. Lalu bagaimana agar kekerasan di sekolah tidak terjadi lagi?
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, banyaknya kasus kekerasan di sekolah karena pemerintah tidak pernah menganggap serius persoalan ini.
"Semua pihak yang terlibat mesti bertanggung jawab, pemerintah juga, jangan dianggap sebagai kasus sepele dan kecil," kata Ubaid, kepada Kompas.com, melalui pesan WhatsApp, Selasa (14/6/2022).
Baca juga: Siswa SD di Binjai Meninggal di Pelukan Sang Ibu, Diduga Dianiaya 6 Teman Sekolahnya
SDM guru harus diperbaiki
Menurut Ubaid, agar kejadian serupa tidak terjadi lagi, sumber daya manusia guru juga harus dibenahi.
Selain itu, sambungnya, pendekatan dalam pembelajaran juga harus ramah anak dan dihilangkan model-model kekerasan.
"Pendekatan kekerasan dalam pendidikan acap kali menginspirasi anak-anak untuk melanggengkan kekerasan dalam sehari-hari," ujarnya.
Baca juga: Buntut Bullying Siswa MTs di Kotamobagu hingga Tewas, Kepala Sekolahnya Terancam Sanksi
Bukan itu saja, di luar sekolah, kata Ubaid, peran keluarga dan lingkungan masyarakat juga perlu agar kekerasan tidak terjadi.
"Lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat adalah tiga area dalam ekosistem pembelajaran yang harus terintegrasi. Di luar sekolah, peran keluarga dan lingkungan masyarakat juga harus mendukung pencegahan kekerasan," jelasnya.
Baca juga: Soal Siswa SD dan MTs Tewas Dikeroyok dan Di-bully, Pengamat: Jangan Dianggap Kasus Sepele dan Kecil
Buruknya savety learning environment
Kata Ubaid, hasil riset JPPI 2021-2022 tentang Right to Education Index, yang paling buruk adalah soal savety learning environment.
Ia pun menyebut, sekolah ramah anak masih sebatas retorika kebijakan saja dan belum well implemented di lapangan.
"Pengawasan yang buruk dan tidak adanya early warning system ini juga turut andil dalam soal ini," ujarnya.
Kata Ubaid, untuk menciptakan savety learning environment di sekolah, harus didorong oleh kebijakan pemerintah untuk menerapkan di semua sekolah soal sekolah ramah anak ini.
Ia pun meminta jangan hanya di sekolah-sekolah tertentu saja yang jadi percontohan yang tidak pernah dievaluasi.
"Ini bisa dikembangkan dengan membangun cara pandang, sikap, dan praktik toleransi aktif, anti kekerasan, peduli lingkungan, empati, dan setia kawan," pungkasnya.
Baca juga: Siswa SD di Binjai Meninggal Diduga akibat Dikeroyok Teman Sekolah, Ibu Korban Menuntut Keadilan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.