Yudhy belum bisa memastikan metode penanganan tersebut sebelum melihat langsung dan mendengar keluhan pasien.
Karena itu, ia juga belum memastikan waktu dan besaran biaya operasi sebelum ada penilaian dan perencanaan operasi.
“Yang jelas butuh waktu panjang. Operasi satu titik saja, harus tunggu sampai benar-benar sembuh minimal satu tahun baru geser operasi ke titik lain. Apalagi yang dialami ini luka bakar sekujur tubuh,” kata dia.
Keempat jemari Trinity yang belum ditekuk sempurna, kata Yudhy, kemungkinan bisa disembuhkan apabila tak melibatkan tulang dan sendi. Jika sebaliknya, akan susah diperbaiki.
Yudhy adalah salah satu dokter yang kala itu mengobati Trinity dkk awal kejadian bom. Saat itu yang ia obati, hanya pengobatan awal saja, membersihkan dan menyembuhkan luka bakar karena kondisinya akut.
"Karena yang kami pikirkan saat itu adalah menyelamatkan nyawa anak ini dulu. Hanya ada satu korban (Intan) yang enggak bisa tertolong karena lukanya cukup berat, melibatkan saluran pernapasan,” kata dia.
Baca juga: Istri Terduga Teroris Dapat Motor dari Bupati: Capek Keliling Terus, Mau Menetap di Jepara Saja
Dia adalah Intan Olivia. Beberapa jam setelah dirawat, Intan dinyatakan meninggal. Sementara, Trinity, Alvaro dan Anita berhasil selamat.
Yudhy mengaku tak tahu lagi perkembangan Trinity setelah dibawa keluarganya berobat ke China hingga saat ini, pun Alvaro dan Anita.
Meski begitu, Sarina optimis melanjutkan operasinya anaknya. Tapi, setelah rembuk dengan keluarga, kemungkinan menunggu usia Trinity di atas 17 tahun.
“Sebab sampai saat ini dia (Trinity) juga kasihan kadang takut dengan operasi, kaya trauma gitu, takut dengan suntikan dan obat,” terang Sarina.
Selain Trinity, Alvaro Sinaga (9) juga kesulitan dana ketika hendak melakukan operasi kepala ke Kuala Lumpur, Malaysia.
Saat Kepala BNPT Komjen Boy Rafly tiba di Samarinda, Sabtu (18/9/2021), Novita Sinaga, ibu Alvaro, menangis mengeluhkan kesulitan itu di hadapan Boy Rafly.
Baca juga: Cerita Bupati Jepara Beri Sepeda Motor untuk Istri Terduga Teroris
Sesuai Pasal 35A Ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Terorisme juga Pasal 6 ayat (1) UU No 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengamatkan setiap warga negara Indonesia yang menjadi korban bom terorisme wajib mendapatkan hak rehabilitasi medis, rehabilitasi psikologis dan sosial serta kompensasi sebagaimana Trinity dkk.
Secara umum mereka, sudah mendapat sebagian dari hak-hak tersebut, namun dirasa belum maksimal, sebab nilai kerugian tak sebanding. Misal nilai kompensasi.
Semua korban bom Gereja Oikumene menerima besaran dana kompensasi hampir sama. Marsyana Tiur sebesar Rp 56,3 juta, Anggiat Rp 66,2 juta, Jekson Rp 17,1 juta, Dorta Rp 19,2 juta, Mesriani sebesar Rp 9,6 juta, dan Martha Rp 9 juta.
Awalnya, JPU mengajukan kopensasi kerugian untuk tujuh korban bom oikumene sebesar Rp 1,4 miliar.
Dengan hituangan kerugian material maupun imaterial. Namun, dikabulkan hakim hanya Rp 237 juta.
Susilaningtyas bilang sampai saat ini pihaknya masih menyiapkan konseling trauma korban gratis jika dibutuhkan Trinity dkk.
Jika Trinity masih membutuhkan pengobatan medis atau pun konseling psikis, maka orangtua Trinity dkk bisa koordinasi dengan LPSK untuk dibukakan kembali layanan tersebut dengan RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
“Tidak ada pembatasan waktu. Peristiwa bom Bali sampai saat ini masih korban yang terima layanan medis dan psikis yang disiapkan LPSK," beber dia.
"Asal mereka butuh, kami koordinasi mereka dapat layanan (medis dan psikis) itu," sambung Susilaningtyas.