Salin Artikel

Menakar Sejauh Mana Negara Penuhi Hak Korban Bom Gereja di Samarinda

Gerakan kaki dan tangan perempuan delapan tahun ini lincah, meski empat jemari tangan kirinya belum tekuk sempurna.

Dia Trinity, korban bom Gereja Oikumene di Samarinda awal November 2016.

Kala itu, Juhanda anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berbaiat ke kelompok Islamic State in Iraq and Syiria (ISIS) meledakkan bom molotov saat ibadah gereja berlangsung.

Sebanyak empat bocah terkapar depan gereja penuh luka bakar.

Trinity kritis setengah tubuhnya terbakar, Intan Olivia (2) tewas setelah 12 jam dirawat, Alvaro Sinaga (3) terbakar bagian wajah dan kepala sedang Anita Kristobel (3) bagian lengan.

“Setelah satu tahun operasi di China, kata dokter di sana, Trinity sudah 85 persen berfungsi motorik tangannya. Di China sudah mentok obati sampai segitu,” ungkap Sarina Gultom kepada Kompas.com di sela menyaksikan anaknya latihan tari balet.

Di ruang kelas sekolah musik itu, Trinity bersama dua rekan seusianya menari balet dipandu seorang balerina.

Jempolnya mengeratkan pegangan, lalu mengambil posisi seimbang, menggeserkan kaki mengikuti arahan sang instruktur.

Sesekali, ketiganya tukar posisi, juga berganti teknik seperti berjinjit hingga ujung jari kaki jadi tumpuan, sembari tangan melakukan gerakan lain.

Tampak Trinity menyelesaikan semua teknik itu dengan mudah.

“Latihan balet ini membantu menggerakan motorik tangan dan kakinya,” kata Sarina.

Meski begitu, luka bekas bakar pada kedua tangan dan wajah Trinity belum sembuh total. Tampak menonjol seperti kulit yang menebal dan mengilap.

Sarina dan suaminya masih berjuang mencari cara agar anaknya menjalani bedah estetika biar bekas luka bakar yang menonjol itu hilang.

“Kami minta diperhatikan pemerintah. Kami masih cari cara komunikasi dengan Gubernur (Kaltim) biar bisa bantu bedah estetika," kata Sarina.

Sejak awal terkena ledakan bom, Trinity menjalani operasi setidaknya 35 kali, untuk perbaikan kulit terbakar. Dari jumlah itu, sebanyak 18 kali operasi dilakukan di Guangzhou, China.

Namun, dokter di sana, kata Sarina, sudah maksimal menyembuhkan.

Trinity sudah dinyatakan sembuh 85 persen, setelah satu tahun mondar-mandir Indonesia-China.

Dana kompensasi yang diterima Sarina dari negara, berdasarkan putusan pengadilan, hanya Rp 60 juta.

Menurutnya, dana itu hanya bisa menutupi biaya satu kali operasi saja di China, selebihnya ia dibantu donatur.

“Ada satu donatur (keturunan) China Palembang. Dia punya perusahaan di Jakarta bantu. Karyawan perusahannya ikut sumbang bantu Trinity,” kisah dia.

Usaha mencari donatur itu, kata Sarina oleh seseorang bernama Birgaldo Sinaga.

Birgaldo membuat tulisan tentang Trinity selama pengobatanya, dapat menggugah hati para donatur termasuk seorang keturunan Tionghoa asal Palembang itu. Namun, kini Birgaldo Sinaga itu sudah meninggal.

“Dia (Birgaldo) punya banyak follower (pengikut medsos). Melalui tulisan (unggahan) itu banyak donatur simpati. Tapi setelah dia meninggal sudah enggak ada lagi. Selama hidupnya dia banyak membantu kami,” terang Sarina.

Kompas.com melacak akun facebook bernama Birgaldo Sinaga. Dia penggiat media sosial yang meninggal karena terserang Covid-19 pada, Sabtu (15/5/2021). Melalui akun facebooknya, Birgaldo beberapa kali menulis kisah tentang Trinity.

Unggahan terakhirnya, pada 30 April 2021 berjudul “Bintang itu telah kembali”.

Tulisan yang mengisahkan tentang latihan tari balet Trinity itu, dikomentari 1.380 nitezen, 778 kali dibagikan dan 18.404 menyukai.

“Biasanya kalau ada donator, Pak Birgaldo minta nomor rekening kami, lalu diteruskan ke donatur,” kata Sarina.

Saat itu, total sumbangan yang masuk kurang lebih Rp 1 miliar. Uang itu dipakai untuk operasi Trinity di China selama setahun.

“Kalau kami sendiri enggak mampu. Sekali operasi (satu titik) saja Rp 60 juta. Ada beberapa kali (titik) operasi. Belum lagi operasional bolak-balik, biaya penginapan kami Rp 8 juta per bulan selama di sana,” kata dia. 

Sarina merasa pintu donasi itu sudah tertutup setelah Birgaldo meninggal.

Sementara, ia bersama suaminya masih berusaha mencari cara agar operasi lanjutan untuk luka bekas bakar dan penyembuhan empat jemari tangan kiri Trinity bisa dilanjutkan.

"Tapi di luar negeri. Kalau di sini (Indonesia) kami takut," tutur dia.

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Susilaningtyas menyebutkan negara bisa menanggung operasi bedah estetika Trinity asal dilakukan di Indonesia.

"Kalau luar negeri enggak bisa, kesulitan kami di situ. Tapi kami juga cari pihak lain bantu, memang enggak mudah," kata dia saat dihubungi Kompas.com, Minggu (23/1/2022).

Menurut Susilaningtyas, awal setelah kejadian, LPSK bekerja sama dengan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wahab Sjahranie di Samarinda untuk pengobatan medis, konseling psikis dan sosial secara gratis bagi Trinity dkk sampai sembuh total.

“Tapi mereka memilih berobat ke luar negeri, jadi negara enggak bisa tanggung,” kata dia.

Alasan Sarina membawa anaknya operasi ke China karena teknologi kesehatannya lebih canggih.

Dokter yang mengobati Trinity di China, menurut Sarina, memberi banyak perubahan dari kulit hingga gerak tangan, ketimbang pengobatannya di Indonesia.

Dokter Spesialis Bedah Plastik RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda, dr. Yudhy Arius, SpBP-RE menyebutkan Trinity masih memiliki garisan parut bekas luka, berdasarkan foto ia terima dari Kompas.com.

“Berdasarkan gambar yang saya lihat ada garisan parut bekas luka bakar. Saya belum tahu yang dikeluhkan itu apa saja. Apakah hanya bekas luka, atau ada gangguan fungsi,” kata dia.

Jika keluarganya menginginkan bekas luka itu di operasi, maka bisa melalui beberapa tahap yakni suntikan untuk mengaburkan atau operasi lapisan silikon.

“Nanti di buang tipis lalu ditutupi dengan kulit lain. Tapi risiko timbul jaringan parut seperti itu tetap ada. Jadi seandainya keluarga minta mulus seperti semula enggak bisa, tetap ada bekas. Analoginya seperti dempul bodi mobil. Prosesnya sama, hanya ini kan kulit manusia,” kata dia.



Yudhy belum bisa memastikan metode penanganan tersebut sebelum melihat langsung dan mendengar keluhan pasien.

Karena itu, ia juga belum memastikan waktu dan besaran biaya operasi sebelum ada penilaian dan perencanaan operasi.

“Yang jelas butuh waktu panjang. Operasi satu titik saja, harus tunggu sampai benar-benar sembuh minimal satu tahun baru geser operasi ke titik lain. Apalagi yang dialami ini luka bakar sekujur tubuh,” kata dia.

Keempat jemari Trinity yang belum ditekuk sempurna, kata Yudhy, kemungkinan bisa disembuhkan apabila tak melibatkan tulang dan sendi. Jika sebaliknya, akan susah diperbaiki.

Yudhy adalah salah satu dokter yang kala itu mengobati Trinity dkk awal kejadian bom. Saat itu yang ia obati, hanya pengobatan awal saja, membersihkan dan menyembuhkan luka bakar karena kondisinya akut.

"Karena yang kami pikirkan saat itu adalah menyelamatkan nyawa anak ini dulu. Hanya ada satu korban (Intan) yang enggak bisa tertolong karena lukanya cukup berat, melibatkan saluran pernapasan,” kata dia.

Dia adalah Intan Olivia. Beberapa jam setelah dirawat, Intan dinyatakan meninggal. Sementara, Trinity, Alvaro dan Anita berhasil selamat.

Yudhy mengaku tak tahu lagi perkembangan Trinity setelah dibawa keluarganya berobat ke China hingga saat ini, pun Alvaro dan Anita.

Meski begitu, Sarina optimis melanjutkan operasinya anaknya. Tapi, setelah rembuk dengan keluarga, kemungkinan menunggu usia Trinity di atas 17 tahun.

“Sebab sampai saat ini dia (Trinity) juga kasihan kadang takut dengan operasi, kaya trauma gitu, takut dengan suntikan dan obat,” terang Sarina.

Selain Trinity, Alvaro Sinaga (9) juga kesulitan dana ketika hendak melakukan operasi kepala ke Kuala Lumpur, Malaysia.

Saat Kepala BNPT Komjen Boy Rafly tiba di Samarinda, Sabtu (18/9/2021), Novita Sinaga, ibu Alvaro, menangis mengeluhkan kesulitan itu di hadapan Boy Rafly.

Kompensasi tak sebanding

Sesuai Pasal 35A Ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Terorisme juga Pasal 6 ayat (1) UU No 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengamatkan setiap warga negara Indonesia yang menjadi korban bom terorisme wajib mendapatkan hak rehabilitasi medis, rehabilitasi psikologis dan sosial serta kompensasi sebagaimana Trinity dkk.

Secara umum mereka, sudah mendapat sebagian dari hak-hak tersebut, namun dirasa belum maksimal, sebab nilai kerugian tak sebanding. Misal nilai kompensasi.

Semua korban bom Gereja Oikumene menerima besaran dana kompensasi hampir sama. Marsyana Tiur sebesar Rp 56,3 juta, Anggiat Rp 66,2 juta, Jekson Rp 17,1 juta, Dorta Rp 19,2 juta, Mesriani sebesar Rp 9,6 juta, dan Martha Rp 9 juta.

Awalnya, JPU mengajukan kopensasi kerugian untuk tujuh korban bom oikumene sebesar Rp 1,4 miliar.

Dengan hituangan kerugian material maupun imaterial. Namun, dikabulkan hakim hanya Rp 237 juta.

Susilaningtyas bilang sampai saat ini pihaknya masih menyiapkan konseling trauma korban gratis jika dibutuhkan Trinity dkk.

Jika Trinity masih membutuhkan pengobatan medis atau pun konseling psikis, maka orangtua Trinity dkk bisa koordinasi dengan LPSK untuk dibukakan kembali layanan tersebut dengan RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.

“Tidak ada pembatasan waktu. Peristiwa bom Bali sampai saat ini masih korban yang terima layanan medis dan psikis yang disiapkan LPSK," beber dia.

"Asal mereka butuh, kami koordinasi mereka dapat layanan (medis dan psikis) itu," sambung Susilaningtyas.


Susilaningtyas mengatakan pernah bekerja sama dengan RSUD Abdul Wahab Sjahranie dalam hal pendampingan psikis korban, tapi selama satu tahun tak dimanfaatkan Trinity dkk karena berobat ke luar negeri. Sarina mengakui hal itu.

Tetty Siahan memilih menghentikan konseling psikologi anaknya Anita Kristabel, karena urusan administrasi yang berbelit. Selain itu, meski sudah dua tahun berjalan, tapi kontrol emosi anaknya belum stabil.

“Ribet, saat kami tunggu perpanjangan kontrak (kerja sama) antara LPSK dan rumah sakit, tunggunya lama,” kata Tetty.

Tetty ingin LPSK lebih aktif melakukan pendampingan terhadap anak mereka, terutama masa depannya.

Anita kini duduk kelas satu SD 002 Harapan Baru Samarinda. Sementara, Trinity duduk di Kelas 3 SD Hati Kudus di Samarinda Seberang.

Sarina pun Tetty bilang LPSK jarang komunikasi dengan mereka, kecuali saat hendak ke Samarinda.

“Kami ingin lebih diperhatikan. Tapi kami juga maklum, bukan kami saja yang diurus negara,” sebut Sarina.

“Cuma bagaimana nasib depan anak kami, mereka mungkin sulit diterima kerja karena cacat,” sambung dia.

Tagih janji beasiswa

Novita Sinaga di hadapan Boy Rafly menyampaikan pemerintah yang tak konsisten menempati janji beasiswa untuk anak korban bom Gereja Oikumene.

Sebelumnya, pada 2019 Pemprov Kaltim pernah menjanjikan beasiswa khusus korban bom Gereja Oikumene.

"Anak kami tidak pernah dapat beasiswa, padahal sebelumnya dijanjikan," ungkap Novita Sinaga ketika diundang dalam acara “Kolaborasi Penyintas" yang dilaksanakan BNPT di Hotel Mercure, Sabtu (18/9/2021).

Saat itu, Boy berjanji memperjuangkan beasiswa khusus keluarga korban teroris.

"Saya akan memperjuangkan apa yang belum pernah didapatkan oleh para penyintas ini. Dalam pertemuan ini saya baru mengetahui kondisi terkini para korban," kata Boy Rafly.

Susilaningtyas mengakui beasiswa untuk anak korban merupakan hal yang belum dipenuhi secara maksimal oleh Pemda dalam kaitannya dengan hak psikososial.

"Dulu Pak Wagub (Kaltim) sempat janjikan. Tapi sekarang dia enggak wagub lagi. Coba nanti kami koordinasi lagi dengan pemerintah daerah," kata dia.

"Untuk psikososial lain nanti diskusi dulu sama keluarga korban (bom)," sambung dia.

Sarina, Tetty dan Novita berharap pemerintah lebih serius memperhatikan anak mereka sebagai korban bom.

Ketiganya juga berharap agar kejadian sama tidak terjadi ke anak-anak lain di Kaltim.

Meski trauma korban bom belum terobati sepenuhnya, Wakil Gubernur Kaltim, Hadi Mulyadi mengeklaim Kaltim aman dari aksi terorisme dan radikalisme.

"Alhamdulillah hingga saat ini Kaltim merupakan daerah yang aman. Kami berterimakasih kepada FKPT yang selalu koordinasi jika ada hal-hal dianggap bisa mengganggu stabilitas keamanan daerah," ungkap Hadi saat menerima kunjungan Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid di ruang kerjanya, Rabu (23/2/2022).

Sempat minder

Setelah pulang dari China, setelah masuk sekolah Trinity minder dan malu dengan teman-temannya karena bekas luka bakar di wajah dan tangannya.

Dia tak begitu percaya diri karena bekas luka bakar di sekujur tubuhnya yang masih menonjol.

“Di sekolah teman-temannya lihat kaya aneh gitu, tapi setelah guru juga bantu jelaskan ke teman-temannya dia korban bom, teman-temannya jadi tahu," ungkap Sarina.

Meski begitu, Trinity terlihat mudah bergaul. Dia cenderung pasif di antara teman-temannya.

Suatu ketika, pada akhir 2019, Sarina memasukan anaknya itu ke sekolah musik Simfoni - Cantata untuk belajar tari balet dan piano. Hal itu agar bisa mengembalikan kepercayaan diri Trinity.

Setelah setahun berjalan, Trinity disebut mengalami banyak perubahan, makin percaya diri. Dia sering kali tampil saat sekolahnya mendapat undangan mengisi acara musik.

“Dia tampil terakhir 2 Desember 2021 lalu di City Centrum Samarinda saat sekolah menampilkan tari balet,” kisah Sarina.

Dari sebelumnya suka minder kini jadi percaya diri dan berani.

Liputan ini menjadi bagian dari program training dan hibah Story Grant: Mengembangkan Ruang Aman Keberagaman di Media oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang terlaksana atas dukungan International Media Support (IMS)

https://regional.kompas.com/read/2022/03/01/180009778/menakar-sejauh-mana-negara-penuhi-hak-korban-bom-gereja-di-samarinda

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke