Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu datang, dan mereka segera mengundi siapa yang akan membuktikan kesaktiannya lebih dulu.
Adu kesaktian ini tidak dilakukan dengan cara berkelahi namun dilakukan dengan sebuat tantangan.
Tantangannya adalah salah satu dari mereka bergantian tidur di bawah pohon aren, sementara lawannya akan memotong tangkai buah dan bunga aren dari atas pohon.
Siapapun yang nantinya tertimpa buah aren itu maka akan kalah dan mengakui kekuatan lawannya.
Si Mata Empat mengambil kesempatan itu dan mempersilahkan Si Pahit Lidah untuk naik ke pohon aren.
Si Pahit Lidah lalu naik dan memotong dahan buah aren yang akan jatuh menimpa Si Mata Empat.
Tentunya Si Mata Empat dengan mudah bisa menghindar meski Si Pahit Lidah mencobanya sebanyak tiga kali.
Kini giliran Si Pahit Lidah yang harus tidur di bawah pohon aren, ia sudah merasa bahwa ajalnya telah dekat.
”Pahit lidah apakah kau sudah siap dengan kematianmu?” kata Si Mata Empat dengan sombongnya.
”Jangan banyak oceh! Cepat potong buahnya!” jawab Pahit Lidah.
Dengan cepat Si Mata Empat memotong buah aren, sementara Si Pahit Lidah tak sempat menghindar.
Terdengar erangan kesakitan dari bawah pohon, Si Mata Empat melihat Si Pahit Lidah sudah bersimbah darah dan tak lama kemudian tewas dengan mengenaskan.
Si Mata Empat tertawa puas melihat nasib lawannya, apalagi kini terbukti bahwa dia adalah jawara terkuat di wilayah tersebut.
Namun melihat tubuh Si Pahit Lidah terkulai lemas di tanah, timbul rasa penasaran Si Mata Empat.
Ia berpikir apakah sebutan Si Pahit Lidah adalah benar karena rasa lidahnya yang pahit?