KOMPAS.com - Sejumlah Palawan Nasioal berasal dari Purworejo, Provinsi Jawa Tengah.
Mereka adalah putra-putra daerah yang mengorbankan jiwa dan raga untuk kepentingan negara.
Berikut Pahlawan Nasional dari Purworejo:
Wage Rudolf Supratman atau yang dikenal dengan WR Supratman lahir pada hari Jumat Wage pada 19 Maret 1903 di Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Tanggal lahir WR Supratman kerap menjadi perbedaan pendapat karena setelah tiga bulan lahir, ia dibawa orang tuanya ke Jatinegara.
Baca juga: WR Supratman: Asal, Pendidikan, Karya, dan Alasan Menciptakan Lagu Indonesia Raya
Sebagai tentara KNIL, Sersan Jumeno Senen (ayah WR Supratman) segera mencatatkan kelahiran anaknya. Untuk memudahkan, maka akta kelahiran WR Supratman dibuat di Jatinegara. Sehingga, banyak yang menuliskan WR Supratman lahir di Jatinegara.
WR Supratman adalah seorang komponis lagu kebangsaan Indonesia. Lagu ciptaannya berjudul Indonesia Raya.
Lagu tersebut mampu membakar semangat persatuan para pemuda yang saat itu belum benar-benar bersatu.
Pertama kali, lagu Indonesia Raya diperdengarkan pada Kongres Pemuda Kedua pada 27-28 Oktober 1928.
Namun setelah itu, kehiduapan WR Supratman menjadi incaran Belanda. Karena dalam lagu Indonesia Raya, ada kata-kata "Merdeka, Merdeka".
Baca juga: Jejak Sejarah Lagu Kebangsaan Karya WR Supratman, Ini Karya Pertamanya
Pada 1930, Pemerintah Hindia Belanda melarang rakyat Indonesia menyanyikan lagu Indonesia Raya di depan umum.
WR Supratman tidak hanya sebagai komposer, ia juga seorang jurnalis dan penulis handal di zamannya yang banyak melahirkan buku-buku.
Jenderal Ahmad Yani lahir pada tanggal 19 Juni 1922 di Jenar, Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Ayahnya bernama Sarjo dan ibunya bernama Murtini.
Pada 1927, mereka merantau ke Bogor karena ayahnya bekerja untuk seorang Jenderal Belanda.
Ahmad Yani memulai pendidikan di sekolah HIS (setingkat SD) di Bogor, ia lulus 1935.
Lalu, ia melanjutkan ke sekolah MULO (setingkat SMP) di Bogor, ia lulus 1938.
Baca juga: Jenderal Ahmad Yani, Kesayangan Sukarno
Selanjutnya, ia masuk AMS di Jakarta. Di AMS, Ahmad Yani hanya sampai kelas dua, karena ia harus mengikuti program wajib militer yang dicanangkan Pemerintah Hindia Belanda.
Ahmad Yani terkenal memiliki segudang prestasi selama berkarir di dunia militer.
Ahmad Yani menjadi salah satu pasukan yang berhasil memindahkan senjata Jepang di Magelang.
Pada saat Agresi Militer I, Ahmad Yani diangkat sebagai Komando TKR (Tentara Keamanan Rakyat) Purworejo dan pasukannya berhasil menahan Belanda di daerah Pingit.
Pada Agresi Militer II, Ahmad Yani dipercaya sebagai Komandan Wehrkreise II meliputi daerah pertahan Kedu.
Setelah Indonesia mendapatkan pengakuan kedaulatan, ia diserahi tugas untuk melawan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang membuat kekacuan di daerah Jawa tengah.
Pada 1955, Ahmad Yani disekolahkan pada Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas, USA selama sembilan bulan.
Baca juga: Museum Sasmitaloka Jenderal Ahmad Yani Dipenuhi Pengunjung
Ia juga mengikuti pendidikan di Special Warface Cource di Inggris selama dua bulan.
Ahmad Yani yang masih berpangkat Kolonel diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus untuk memimpin penumpasan pemberontakan PRRI dan berhasil.
Pada 1962, ia diangkat menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat
Jenderal Ahmad Yani selalu berbeda paham dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Ia menolak keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh tani yang dipersenjatai.
Oleh karena itu, ia menjadi salah satu target PKI yang diculik dan dibunuh di antara tujuh petinggi TNI Angkatan Darat melalui pemberontakan G30S/PKI.
Ahmad Yani ditembak di depan kamar tidurnya pada tanggal 1 Oktober 1965. Jenazahnya ditemukan di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Oerip Soemohardjo lahir dengan nama kecil Mohammad Sidik. Ia lahir pada tanggal 22 Februari 1893 di Sindurijen, Purworejo, Jawa Tengah.
Sejak kanak-kanak Oerip dikenal sebagai anak yang nakal dan memiliki keberanian tinggi.
Jiwa kepemimpinan dalam diri Oerip Soemohardjo telah mulai terbentuk sejak kanak-kanak.
Sejak sekolah dasar, Oerip pernah berpindah-pindah sekolah. Ia pernah dipindahkan ke Sekolah Dasar Eropa (ELM) untuk anak perempuan dengan harapan kenakalannya berkurang.
Lalu, ia pindah ke sekolah anak laki-laki yang mayoritas berisi anak-anak dari tangsi KNIL.
Baca juga: Akibat Hujan Deras, Jalan Jenderal Ahmad Yani Terendam Banjjr
Kemudian, ia melanjutkan ke Sekolah Pamong Praja untuk Bumiputera (OSVIA) di Magelang. Namun di sekolah itu, ia melihat tindakan diskriminasi terhadap kaum Bumiputra oleh guru-guru yang berasal dari Belanda. Oerip memutuskan untuk kabur.
Lalu, Oerip pindah ke Sekolah Militer Meester Cornelis, meskipun keputusannya ditentang ayahnya.
Pada Oktober 1914, Oerip lulus Sekolah Militer, ia menyandang letnan dua dan dilantik sebagai opsir KNIL.
Oerip ditempatkan di tiga pulau yang berbeda-beda dengan dipromosikan beberapa kali. Akhirnya, ia menjadi perwira pribumi dengan pangkal tertinggi KNIL.
Oerip mengundurkan diri dari jabatannya sekitar 1938, karena ia berselisih paham dengan Bupati Purworejo, tempat ia ditempatkan. Ia dan istri kemudian pindah ke desa di dekat Yogyakarta.
Pada tanggal 14 Oktober 1945, beberapa bulan setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, Oerip ditetapkan sebagai kepala staf pemimpin sementara angkatan perang yang dibentuk. Oerip berusaha menyatukan kelompok-kelompok militer yang terpecah-pecah.
Baca juga: HUT Kota Bekasi di Jalan Jenderal Ahmad Yani, Ini Rekayasa Lalu Lintasnya
Dalam rapat penentuan pemimpin TKR, yang melakukan pemungutan suara sebanyak tiga kali. Soedirman ditetapkan sebagai Panglima Besar TKR dan Oerip Soemohardjo ditetapkan sebagai Kepala Staf TKR.
Mereka berdua sama-sama mengawasi pembangunan angkatan perang pada masa Revolusi Nasional Indonesia.
Pada 1948, Oerip mundur dari militer karena muak atas kurang kepercayaan pemerintah terhadap militer.
Karena mengidap lemah jantung, kondisi kesehatannya memburuk. Oerip wafat karena serangan jantung. Saat kematiannya,
Ia berpangkat letnan jenderal. Ia dipromosikan secara anumerta menjadi jenderal penuh.
Sarwo Edhie Wibowo lahir pada tanggal 25 Juli 1925 di Purworejo.
Sarwo Edhie Wibowo juga dikenal sebagai ayah dari Kristiani Herrawati atau Ani Yudhoyono, yang merupakan ibu negara Republik Indonesia sekaligus istri Presiden Republik Indonesia ke enam, Susilo Bambang Yudhoyono.
Sedangkan, putranya yang bernama Pramono Edhie Wibowo adalah mantan KSAD.
Sarwo Edhie berperan sangat besar dalam penumpasan Pemberontakan 30 September (G30S).
Baca juga: Peran Sarwo Edhi Wibowo dalam Penumpasan G30S
Atas keberhasilannya menumpas G30S, ia memperoleh kenaikan jabatan menjadi Komandan RPKAD atau dikenal Kopassus.
Selain itu, ia juga diperintahkan oleh Soeharto, Panglima Kostrad, untuk merebut RRI pusat dari tangan PKI.
Perintah perebutan RRI pusat dari tangan PKI turun berjenjang dari Sarwo Edhie Wibowo ke Mayor CI Santoso, Lettu Feisal Tanjung, dan akhirnya sampai ke prajurit Sintong Panjaitan.
Singkat kata, perebutan kekusaan RRI pusat dari tangan PKI berhasil meski prajurit Sintong Panjaitan terkena omelan Sarwo Edhie karena adanya suara kaset rekaman berputar yang masih terdengar.
Karir Sarwo Edhie di Militer
Selain itu, Sarwo Edhie pernah menjadi Duta Besar Korea Selatan, Gubernur AKABRI, dan Kepala BP7.
Baca juga: Pramono Edhie: Jadi Anaknya Sarwo Edhie dan Ipar SBY, Tidak Cukup...
Sarwo Edhie meninggal setelah satu tahun mengalami koma. Ia meninggal di Jakarta pada tanggal 9 November 1989 dalam usia 64 tahun).
Ia adalah tokoh militer Indonesia.
Kasman Singodimedjo lahir pada tanggal 25 Februari 1904 di Purworejo.
Ia adalah Jaksa Agung Indonesia periode 1945 samai 1946. Ia juga merupakan mantan Menteri Muda Kehakiman pada kabinet Amir Sjarifuddin II.
Ia juga pernah menjabat sebagai ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang menjadi cikal bakal DPR.
Kasman tercatat sebagai anggota Komandan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) bentukan Jepang.
Baca juga: Kasman Singodimedjo: Peran, Perjuangan, dan Kiprah
Soekarno mengangkat Kasman Singodimedjo menjadi salah satu dari enam anggota tambahan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang diketuai Soekarno, tanpa sepengetahuan Jepang.
PPKI kemudian merumuskan pengesahan UUD 1945, di mana pada masa itu terdapat perbedaan pendapat pada butir pertama Piagam Jakarta yang menjadi cikal bakal Pembukaan UUD 1945.
Saat itu, perwakilan Indonesia Timur keberatan dengan tujuh kata dalam butir pertama Piagam Jakarta yang isinya "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya".
Perwakilan Indonesia Timur mengancam kepada Bung Hatta akan melepaskan diri dari Indonesia, jika tujuh kata itu dipertahankan.
Untuk mengubah setiap kata dalam Piagam Jakarta dibutuhkan persetujuan dari seluruh tokoh, terutama tokoh Islam yang bersikukuh atas tujuh kata tersebut.
Baca juga: PKS Usul Kasman Singodimedjo Jadi Pahlawan Nasional
Kasman yang merupakan tokoh Muhammadiyah diminta tolong Soekarno melobi salah satu tokoh Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo. Supaya, Ki Bagus Hadikusumo menyetujui penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.
Berkat lobi yang dijalankan Kasman, Ki Bagus Hadikusumo berhasil diyakinkan hingga akhirnya bersedia atas penghapusan tujuh kata itu.
Sumber: http://museumsumpahpemuda.kemdikbud.go.id, https://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id/, https://rri.co.id/hu,
https://www.tribunnewswiki.com/2021, https://wartakota.tribunnews.com/2, https://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id/ca