Pengibaran bendera Benang Raja dan dimulainya pemberontakan RMS menimbulkan berbagai dampak.
Dampak utama yaitu banyaknya korban yang jatuh dari kedua belah pihak pada masa perlawanan.
Selain itu, terjadi migrasi pengungsi ke Belanda karena dianggap mendukung berdirinya RMS.
Hal ini juga menimbulkan ketidakstabilan kondisi keamanan dan politik antar kelompok di wilayah Maluku.
Bahkan beberapa kejadian terorisme oleh anggota RMS juga terjadi di Belanda.
Hubungan Indonesia dan Belanda juga turut terdampak akibat munculnya pemberontakan ini.
Penyelesaian pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) ditempuh dengan berbagai cara.
Secara persuasif, pemerintah mengutus Dr. J. Leimena untuk melakukan pendekatan dengan menyampaikan permintaan berdamai kepada RMS supaya tetap bergabung dengan NKRI.
Soumokil dengan tegas menolak permintaan ini dan ingin tetap melepaskan diri dari NKRI.
Akibatnya ditempuh cara perlawanan dengan membentuk Operasi Militer yang dipimpin Kolonel A.E. Kawilarang.
Sebagai panglima tentara dan teritorium Indonesia Timur, ia ditunjuk karena dianggap mengerti dan paham bagaimana kondisi di wilayah tersebut.
Setelah perlawanan panjang, Kota Ambon akhirnya dapat dikuasai pada awal November 1950.
Keberhasilan ini diikuti dengan penangkapan Presiden pertama RMS, JH Manuhutu dan Perdana Menteri RMS Wairisal, beserta sembilan menteri lainnya.
Para tokoh RMS ini kemudian dijatuhi hukuman penjara selama tiga sampai lima setengah tahun.
Namun saat terjadi pertempuran dalam merebut Benteng Nieuw Victoria, Letnan Kolonel Slamet Riyadi yang bertugas saat itu harus gugur di medan laga. Perang gerilya juga masih berlanjut di Pulau Seram sampai 1962.
Soumokil akhirnya tertangkap pada 12 Desember 1963 dan sesuai keputusan Mahkamah Militer Luar Biasa di Jakarta, ia dijatuhi hukuman mati pada tahun 1966.
Sumber:
munasprok.go.id
kompas.com