KOMPAS.com - Perjanjian Renville (1948) tercatat sebagai salah satu peristiwa sejarah dalam usaha memperjuangkan kedaulatan bangsa Indonesia.
Perjanjian Renville diambil setelah Belanda tak kunjung menepati hasil Perjanjian Linggarjati (1947) yaitu mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto.
Baca juga: Perjanjian Linggarjati: Latar Belakang, Isi, dan Dampaknya
Belanda terus melanggar perjanjian dengan berusaha menguasai wilayah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS)
Baca juga: Tokoh Perjanjian Linggarjati
Sementara Indonesia juga merasa bahwa Perjanjian Linggarjati tidak menguntungkan karena wilayah yang diakui sangatlah sempit.
Baca juga: Mengapa Perjanjian Renville Merugikan Indonesia?
Agresi Militer Belanda I yang dimulai sejak 21 Juli 1947 tak hanya menimbulkan reaksi di tanah air namun juga dunia Internasional.
Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) kemudian membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri atas Australia, Belgia, dan Amerika Serikat.
Indonesia memilih Australia yang diwakili oleh Richard Kirby sementara Belanda memilih Belgia yang diwakili oleh Paul van Zeeland.
Kemudian Australia dan Belgia bersepakat memilih Amerika Serikat yang diwakili oleh Frank Porter Graham.
Dalam perundingan tersebut, Indonesia diwakili oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin dan pihak Belanda diwakili oleh R. Abdulkadir Wijoyoatmojo.
Pada 8 Desember 1947 hingga 17 Januari 1948 Perjanjian Renville disepakati di atas kapal perang Amerika Serikat USS Renville sebagai tempat netral.
Kapal perang Amerika Serikat USS Renville saat itu berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta.
Berikut adalah isi Perjanjian Renville yang ditandatangani pada 17 Januari 1948:
1. Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan segera.
2. Republik Indonesia merupakan negara bagian dalam RIS.
3. Belanda tetap menguasai seluruh Indonesia sebelum RIS terbentuk.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.