SOLO, KOMPAS.com - Buku "Sultan Agung dalam Goresan S. Sudjojono" resmi diluncurkan pada Sabtu (22/1/2022) di Tumurun Private Museum, Kota Solo.
Peluncuran buku tersebut sebagai puncak rentetan Pameran Mukti Negeriku! Perjuangan Sultan Agung melalui Goresan S. Sudjojono.
Buku setabel 138 halaman mengupas lengkap latar belakang, makna, nilai dan konteks sejarah lukisan karya S. Sudjojono "Sejarah Perjuangan Sultan Agung" (1974), untuk koleksi Muesen Sejarah Jakarta.
Setiap halaman menceritakan bagaimana 38 sketsa studi yang dibuat secara langsung oleh S. Sudjojono, diterbitkan dalam format hardcover dan softcover oleh Kepustakaan Populer Gramedia atas kerja sama dengan Tumurun Museum dan S. Sudjojono Center.
Baca juga: Bermula dari Tersinggung Ditatap, Siswi SMP di Minahasa Utara Aniaya Sesama Pelajar
Fokus perjalanan cerita buku ini pada perjalanan lukisan yang dipesan pada tahun 1973 oleh Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta saat itu, dalam rangka peresmian Museum Sejarah Jakarta pada tahun 1974.
Buku ini menelaah setiap arahan dan instruksi dari tim Provinsi DKI Jakarta yang tertuang dalam sejumlah korespondensi dengan S. Sudjojono.
Korespondensi ini menjadi penting karena banyak mempengaruhi proses riset dan keputusan artistik yang diambil Sudjojono dalam memvisualisasikan subyek sejarah perjuangan Sultan Agung.
"Sosok Sultan Agung tokoh penting dan istimewa karena perjuangan menyerang jantung pertahanan Batavia saat itu, tak seperti tokoh atau pahlawan lain yang berperang karena ingin mempertahankan wilayah saja. Sultan Agung berjuang dalam rangka mempertahankan kedaulatan negara," ujar Kontributor Buku dan Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso, Sabtu (22/1/2022).
Termasuk di antaranya ketentuan dari tim Provinsi DKI Jakarta agar Sudjojono membagi lukisan ini menjadi tiga panel yang melukiskan tiga adegan yang menggambarkan kebesaran Sultan Agung, pertempuran Mataram melawan Belanda dan JP Coen.
Selain itu, terdapat juga instruksi spesifik mengenai penggambaran sosok dan sifat Sultan Agung dari Mataram dan sejumlah hal lain yang berkaitan dengan aturan dan kebiasaan-kebiasaan keraton dan sultananya.
Pada buku ini juga diuraikan mengenai riset mendalam S. Sudjojono dalam persiapannya membuat lukisan tersebut yang dituangkannya dalam ke-38 sketsa studi.
Buku ini menelusuri hasil riset, kunjungan ke museum dan institusi di Indonesia maupun Belanda, wawancara narasumber dan pembacaan buku sejarah serta pemikiran, pertanyaan dan berbagai tantangan yang dihadapi Sudjojono dalam proses pembuatan yang dituangkannya dalam ke sketsa-sketsa tersebut.
Salah satu contoh risetnya terlihat dalam penggambaran sketsa-sketsa yang secara khusus mengeksplorasi cara berpakaian, posisi duduk, posisi tangan, dan suasana singgasana Sultan Agung.
Termasuk orang-orang di sekitarnya, benda-benda pusaka, dan bentuk, desain serta warna panji-panji pasukan Kesultanan Mataram Islam.
Satu referensi mengenai panji-panji Jawa yang didapat Sudjojono yakni dari buku yang diberikan oleh Pemda DKI berjudul “History of Java” oleh Thomas Stamford Raffles, 1812.
"Menjadi hal menarik, setiap pengumpulan dan mendapatkan materi dari cacatan-catatan dan dokumentasi S. Sudjojono. Serta sosok Sultan Agung dan peristiwa saat pertempuran, kami mencarinya tidak hanya di Indonesia, tapi juga dari Belanda, untuk arsip-arsip tersebut," kata Santy Saptari, Editor Buku dan Kurator Pameran Mukti Negeriku! Perjuangan Sultan Agung melalui Goresan S. Sudjojono.
Cacatan-catatan analisa mengenai lukisan dan ke-38 sketsa "Sejarah Perjuangan Sultan Agung" yang dirangkum dalam buku ini, menjadi bahan pendukung pendaftaran dan penetapan lukisan dan sketsa-sketsa tersebut menjadi Cagar Budaya Nasional sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
"Secara garis besar, alasan pertama menjadi cagar budaya, atas kepentingan sejarah dan ilmu pengetahuan. Agar segera didaftarkan dan akan mendapatkan perlakuan yang berbeda. Karena verifikasi nilai cagar budaya proses dari kabupaten hingga tingkat nasional, menjadi nilai penting melihat dan mengkontrol untuk bangsa kita," ujar Kepala Galeri Nasional Indonesia Pustanto.
Akhir pembahasan dalam buku ini mengenai lukisan Sultan Agung sebagai perwujudan sikap dan semangat nasionalisme S. Sudjojono.
Digunakan sebagai cara untuk terus digaungkan keseluruh generasi muda Indonesia.
Nilai-nilai nasionalisme ini adalah sesuatu yang terus diperjuangkan oleh seniman S. Sudjojono sejak 1930-an melalui karya-karya dan tulisan-tulisannya dan mencapai puncaknya pada lukisan ini.
Baca juga: Ketua Komisi IV DPRD Solo Putut Gunawan Meninggal Dunia
Sehingga sampailah lukisan ini direkomendasikan untuk ditetapkan menjadi Cagar Budaya Nasional, mengingat lukisan ini telah memenuhi tiga syarat dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dengan beberapa poin, di ataranya:
1. Wujud kesatuan dan persatuan bangsa, karena lukisan ini menggambarkan persatuan dari berbagai wilayah/suku bangsa untuk bertempur melawan VOC di bawah pimpinan Mataram.
2. Karya adiluhung yang mencerminkan kekhasan kebudayaan bangsa Indonesia, karena lukisan ini dibuat oleh salah satu pelukis realis ekspresionis yang juga mengembangkan seni lukis modern Indonesia.
3. Cagar budaya yang sangat langka jenisnya, unik rancangannya dan sedikit jumlahnya di Indonesia, karena lukisan ini berukuran sangat besar dan menyimpan cerita sejarah penting bagi Jakarta.
Sebagai upaya mendalami karya-karya yang didampingi dengan buku tersebut, serta merespon kembali karya-karya S. Sudjojono, akan diselenggarakan Workshop Sketsa bertajuk “Sketch Like Sudjojono”, pada Minggu, (23/1/2022).
Workshop berlangsung di Tumurun Private Museum, Kota Solo, mengahdirkan narasumber Jevi Alba, seorang sketcher yang tergabung dalam Komunitas Solo Sketcher dan Komunitas Cat Air (KOLCAI) Solo.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.