BANDUNG, KOMPAS.com - Psikiater Teddy Hidayat yang bertugas di RS Melinda 2 Bandung mengatakan, kekerasan seksual pada anak banyak terjadi di masyarakat tapi tersembunyi seperti gunung es.
"Bila ada satu kasus yang dilaporkan, sebenarnya masih ada sembilan kasus lain yang tidak terlaporkan," ujar Teddy saat dihubungi Senin (13/12/2021).
Kekerasan seksual pada anak, sambung Teddy, seringkali tidak segera terungkap. Seperti pemerkosaan yang dilakukan Herry Wirawan, guru di Madani Boarding School terhadap santriwatinya.
Kejadian yang berlangsung selama 2016-2021 ini bahkan membuat para korban melahirkan 8 bayi. Sedangkan kasusnya baru terbongkar 2021.
Baca juga: Atalia Bantah Tutupi Kasus Herry Wirawan, Ini Alasannya Tak Mengekspos
"Ini terjadi karena tidak adanya pengawasan terhadap anak dari orangtua dan lingkunganya, dan tidak adanya pengawasan terhadap lembaga tersebut dari intansi yang berwenang atau yang seharusnya mengawasi," beber dia.
Teddy berkata, semua pihak yang berhubungan dengan anak, seperti orangtua, pengasuh, guru, lingkungan sekolah harus mengenal dan mampu mendeteksi kekerasan seksual pada anak.
Pasalnya, seorang anak yang menjadi korban kekerasan seksual akan mengalami dampak fisik, psikis, dan sosial yang bekepanjangan.
Dikatakan Teddy, ada sejumlah gangguan psikiatrik yang bisa dialami korban kekerasan seksual atau perkosaan seperti fobia, cemas, tidak berdaya, depresi (rasa malu, bersalah, citra diri buruk, perasaan telah mengalami cedera permanen), perilaku impulsif (berbuat tidak disertai nalar atau alasan), merusak, bahkan keinginan bunuh diri.
Selain hal itu, korban kekerasan seksual juga cenderung kesulitan mempercayai orang lain, cenderung akan menolak hubungan seksual dengan lawan jenis, dan lebih memilih hubungan seksual sesama jenis.
Korban kekerasan seksual pada anak biasanya masih muda dan mudah dipengaruhi.
Sementara itu, pelaku kekerasan seksual umumnya orang dewasa yang dikenal korbal, termasuk anggota keluarga yang dipercaya, pengasuh, hingga guru di sekolah maupun pesantren.
Untuk melancarkan aksinya, kata Teddy, orang dewasa yang sudah dikenal korban kemungkinan akan melakukan upaya intimidasi atau sugesti lewat ungkapan seperti "murid harus taat pada guru".
Ketika kalimat itu disampaikan terus menerus, ditambah korban hidup di lingkungan tertutup atau terisolir selama bertahun-tahun, itu akan memengaruhi perkembangan kepribadian dan pemikiran korban ke arah patologis.
Teddy menyebut, salah satunya adalah stockholm syndrome, yaitu gangguan psikiatrik pada korban penyanderaan yang membuat mereka merasa simpati atau bahkan muncul kasih sayang terhadap pelaku.
Sementara pada pelaku, gangguan psikiatriknya adalah psikopatologi. Ini adalah gangguan penilaian atau judgement yang membuat pelaku tidak mampu membedakan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, mana yang pantas dan mana yang tidak pantas, mana yang bermoral dan mana yang tidak bermoral.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.