SURABAYA, KOMPAS.com - Jalan terjal nan berliku dalam menjalani hidup dialami Yesti Rambu Jola Pati.
Pada Juli 2013, perempuan asal Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu nekat merantau ke Surabaya, Jawa Timur. Saat itu, Yesti masih berusia 18 tahun.
Lahir dari keluarga tidak mampu, Yesti yang masih remaja memiliki keinginan kuat memperbaiki kondisi ekonomi keluarga.
Suatu hari, Yesti mendapat informasi dari tetangganya mengenai lowongan kerja sebagai asisten rumah tangga (ART) di Surabaya.
Kebetulan, saat itu Yesti sudah menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah menengah atas (SMA) di kampung halamannya, Sumba Tengah.
Yesti masih ingat pengalaman yang membuatnya mantap merantau ke Surabaya. Saat makan malam bersama keluarga, tiba-tiba orangtuanya hanya diam tak mau makan. Air mata mereka menetes.
Kedua orangtua itu terisak memikirkan saudara Yesti yang kuliah di Kupang, NTT. Yesti paham, orangtua merasa memiliki kewajiban memenuhi biaya kuliah kakaknya.
"Orangtua saat itu bilang, 'kita di sini bisa makan, lalu bagaimana dengan kakak kamu yang di Kupang, dia sudah makan apa tidak?'," kata Yesti kepada Kompas.com, Kamis (7/10/2021), menirukan ucapan orangtuanya.
"Yang membuat saya sedih, saat saya melihat kedua orangtua saya meneteskan air mata. Melihat kondisi ekonomi keluarga juga seperti itu, kakak saya juga kuliah dan harus dibiayai," ujar Yesti.
Kenangan menyedihkan itu mendorong Yesti untuk nekat merantau ke Surabaya. Yesti pun menyatakan kesiapan mengisi lowongan ART yang sebelumnya didengar dari tetangga.
Baca juga: Surabaya Masuk Daerah Kategori PPKM Level 1, tetapi...
"Bermula dari situ, saya bertekad untuk bisa memperbaiki taraf hidup keluarga saya. Karena kebetulan ada yang mencari tenaga kerja, saya menawarkan diri agar saya bisa bekerja dan bisa membantu mengurangi beban orangtua," kata Yesti.
Orangtua Yesti saat itu tak memberi izin. Apalagi, mereka tidak memiliki kenalan dan keluarga di Surabaya. Namun, Yesti tetap memaksa untuk pergi ke Surabaya.
Perjalanan merantau ke Surabaya
Kini, Yesti telah berusia 27 tahun. Dulu, saat memutuskan merantau ke Surabaya, ia sama sekali tak membawa uang.
Ia hanya membawa dua pasang pakaian, termasuk yang dipakai saat itu.
"Saya sama sekali tidak bawa uang, saat itu, karena memang tidak punya uang, handphone pun tidak ada saat itu," kata Yesti.
Yesti pun meminjam uang ke salah seorang temannya. Uang itu dipakai membeli tiket travel dari rumah menuju Pelabuhan Waingapu, Sumba Timur.
Perjalanan dari rumah Yesti menuju Pelabuhan Waingapu membutuhkan waktu tempuh sekitar dua jam. Setibanya di Pelabuhan Waingapu, Yesti nekat masuk kapal tanpa membeli tiket.
Sekitar 37 jam perjalanan menuju Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Yesti selalu berusaha kabur dan sembunyi saat ada pemeriksaan tiket.
Bahkan, untuk makan, Yesti harus mengambil sisa makanan penumpang kapal lain yang masih tersisa.
Sampai saat ini, Yesti tak pernah menyangka bisa lolos di perjalanan laut itu hingga tiba di Kota Pahlawan.
"Jadi saat itu saya benar-benar nekat. Apa pun risiko yang akan terjadi nanti, saya akan terima," kata Yesti.