Sejak pertama kali memutuskan meninggalkan kampung halamannya, Yesti selalu yakin bisa menggapai mimpinya di masa depan.
"Saat berangkat ke Surabaya, saya punya keyakinan tersendiri bahwa saya pasti bisa. Mungkin semua sudah diatur sama Tuhan," ucap Yesti.
Tekad kuat dan keberanian Yesti akhirnya mengantarkan dirinya untuk memulai petualangan baru di perantauan.
Saat itu, ia tak menemui hambatan apa pun dan berhasil sampai ke Surabaya.
"Mungkin ini juga bagian dari rencana Tuhan, saya bisa lolos di kapal dan sampai Surabaya dan semuanya berjalan lancar saat itu," tutur dia.
Bekerja sebagai ART
Setibanya di Surabaya, Yesti langsung bekerja sebagai ART di kediaman salah seorang pengusaha parfum di Nginden Intan Barat, Surabaya.
Sebulan bekerja, Yesti mendapatkan gaji pertama dari majikannya. Namun, saat itu ia belum bisa menikmati hasil dari keringatnya sendiri.
Meski jumlahnya tak seberapa, Yesti memilih memberikan uang tersebut kepada orangtua dan saudaranya di kampung halaman.
Sisa uang itu ia berikan kepada teman untuk membayar utang biaya travel.
"Itu saya ingat sekali. Gaji pertama saya langsung bayarkan pada teman yang uangnya sempat saya pinjam untuk bayar travel. Terus langsung bantu kakak dan orangtua. Saya belum bisa menikmati gaji saya," ucap Yesti.
Baca juga: Kampung Narkoba Surabaya, Digerebek 450 Petugas, Bocor karena Ada Alarm Bunyi sebagai Tanda
Yesti menceritakan, ia baru bisa menikmati upah dari hasil kerjanya pada bulan kedua bekerja sebagai ART.
Upah itu ia gunakan untuk membeli pakaian. Karena saat merantau ke Surabaya, ia hanya membawa dua pasang helai pakaian.
Pada bulan-bulan berikutnya, ia selalu mengirim uang bulanan kepada orangtua di kampung halaman.
"Setiap bulan saya dapat gaji, uangnya saya bagi-bagi untuk orangtua dan kakak-kakak saya. Sampai sekarang, setiap bulan masih kirim uang untuk keluarga," ucap anak kelima dari enam bersaudara itu.
Meski bekerja sebagai ART, ia mengaku senang karena bisa membantu keluarga dan mengurangi beban yang dipikul orangtuanya.
Yesti, bahkan mulai bisa menabung. Dari tabungan itu pula, Yesti akhirnya bisa kuliah dan menjadi sarjana.
Perjuangan menempuh pendidikan di perguruan tinggi
Niat untuk melanjutkan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi tidak pernah ada di benak Yesti. Sebab, ia merantau ke Surabaya hanya untuk bekerja dan membantu orangtua.
Meski Yesti mengakui pernah punya cita-cita untuk bisa sekolah tinggi, asa itu selalu pupus. Ia menyadari, dengan segala keterbatasan, terutama secara ekonomi, ia merasa tak mungkin bisa menempuh pendidikan tinggi.
Jika hal itu ia lakukan, ia khawatir tidak bisa memberi kiriman uang lagi untuk keluarga di kampung halaman.
"Awal ke Surabaya tidak ada niat untuk kuliah. Karena saya sadar diri dengan keadaan ekonomi saya dan tidak mau menyakiti perasaan saya sendiri," kata Yesti.
"Saya dulu sudah tahu diri kalau saya tidak bisa melanjutkan cita-cita saya karena keterbatasan ekonomi. Saat itu, memikirkan kuliah pun sama sekali tidak ada. Karena saya sudah tahu dengan kondisi keluarga seperti apa," imbuh dia.