Padahal, Pasal 21 UUPA telah mengatur tentang subjek hak yang bisa dilekati hak milik, yaitu WNI dan badan hukum yang ditunjuk oleh pemerintah menurut PP Nomor 38 Tahun 1963 (koperasi pertanian, yayasan keagamaan, yayasan sosial, bank pemerintah).
Artinya, kasultanan atau kadipaten tidak termasuk individu maupun badan hukum yang bisa dilekati hak milik atas tanah. Kecuali hak guna bangunan atau hak pakai.
“Ini yang sebetulnya menjadi dasar mereka (kasultanan dan kadipaten) untuk mengakuisisi tanah-tanah yang tadinya sudah dikuasai di banyak tempat, sudah dikuasai dan dikelola oleh (desa maupun) masyarakat,” tutur Erwin.
Peneliti FKMA Kus Sri Antoro menambahkan, pelaksanaan pertanahan di DIY pun kian rumit ketimbang di luar DIY.
“Desa di luar DIY dilekati hak pakai atas tanah yang muncul dari tanah negara. Desa di DIY sebagai badan hukum publik, dilekati tanah hak pakai dari tanah hak milik lembaga badan hukum warisan budaya (kasultanan dan kadipaten). Bedanya itu,” jelas Kus.
Baca juga: Kekhawatiran di Balik Sertifikasi Tanah Desa oleh Keraton Yogyakarta (2)
Tak hanya UUPA, UU Keistimewaan juga ditengarai bertentangan dengan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Pasal 76 disebutkan, bahwa tanah desa adalah aset desa dan merupakan milik desa.
Kus menduga kasultanan dan kadipaten berlindung dibalik UU Keistimewaan untuk melegalkan praktik rekolonialisasi pertanahan di DIY.
Salah satunya dengan menganggap UU Keistimewaan sebagai lex specialis dari UU Desa atau UUPA.
Sementara, menurut Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Ni’matul Huda, UU Keistimewaan adalah lex specialis dari UU Pemerintahan Daerah.
Mengingat UU Keistimewaan tidak hanya mengatur soal pertanahan saja, melainkan empat keistimewaan DIY lainnya, yaitu meliputi tata ruang, penetapan gubernur dan wakilnya, kelembagaan, juga kebudayaan.
Draf Rancangan Perdais Pertanahan sebagai aturan turunan UU Keistimewaan juga dikritisi Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPRD DIY masa itu. Fraksi PAN menolak pasal yang berpotensi merampas tanah desa.
Perdais Pertanahan disinyalir menjadi alat untuk mempermudah pihak kasultanan atau kadipaten memanfaatkan tanah desa di DIY.
Hal ini tercium sejak awal pembahasan perdais tersebut pada 2016.
“Kami menilai draf Perdais cacat hukum karena aturan ini memperluas kualifikasi tanah SG (Sultan Ground) dan PAG (Pakualam Ground). Padahal dalam UU Keistimewaan, limitasinya tak terlalu luas,” kata mantan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PAN DIY Nazarudin saat ditemui pada Senin (5/4/2021).
Alasannya, klaim tanah desa menjadi milik kasultanan atau kadipaten tidak pernah diatur dalam UU Keistimewaan.
UU tersebut membatasi sertifikasi hanya berlaku untuk tanah kasultanan atau kadipaten yang tercatat dalam kepemilikan keraton dan kadipaten semata.
Dia juga menegaskan, UU Keistimewaan dan Perdais Pertanahan tidak sesuai dengan UUPA.
Dalam UUPA dijelaskan, tanah-tanah bekas swapraja atau tanah milik raja sepenuhnya menjadi tanah negara dan dikelola oleh pemerintah serta masyarakat.
”Sinkronisasi antara dua UU ini seperti apa? Saling bertentangan. Seolah-seolah ini kerajaan dalam negara,” terang dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.