Dia menceritakan, sebelum pandemi Covid-19 melanda, banyak rombongan turis asing dari Yogyakarta ke Solo untuk membeli barang-barang antik.
Barang antik yang dia jual di Pasar Triwindu ada perabotan rumah tangga seperti piring antik, patung, replika sepeda angin, lampu hias antik buatan dari Belanda, cap batik, teko antik, dan lain sebagainya.
Adapun harganya bervariasi mulai dari yang murah Rp 10.000 hingga paling mahal sampai jutaan rupiah.
Barang antik yang harganya mencapai jutaan rupiah itu lampu hias buatan Belanda.
Dalam sehari, Sulardi bisa meraup keuntungan sekitar Rp 3 juta saat pasar tengah ramai pembeli.
"Sejak pandemi ini malah tombok (merugi). Saya dari Wonogiri ke Solo tiap hari juga butuh ongkos. Makanya saya banting stir jualan arang," ucap dia.
Pedagang lainnya, Ibu Fauzan juga mengungkapkan, kondisi kiosnya yang sepi pembeli sejak pandemi Covid-19.
Saking tidak ada pembeli, dia sempat menutup kiosnya selama tujuh bulan terhitung pada April 2020 hingga November 2020.
"Saya tutup sampai tujuh bulan. Saya buka lagi November 2020 tapi sampai sekarang masih sepi pembeli," ungkap dia.
Menurut dia, pandemi Covid-19 berdampak terhadap usahanya yang telah ditekuni sejak tahun 1975. Selama pandemi pendapatannya menurun hingga 90 persen.
Selama penutupan sementara, Fauzan mengandalkan usahanya yang lain yaitu menjual hiasa berupa permata dan berlian.
"Selain jualan di sini. Saya punya usaha lain di rumah. Banyak pesanan yang saya dapatkan untuk hiasa berlian. Walaupun di rumah saya masih bisa jalan," ungkap dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.