Di awal abad ke-17 Verenigde Oostindische Compagnie (VOC), kongsi dagang Belanda, tiba di Kepulauan Banda dan mulai menguasai satu per satu pulau utamanya.
VOC berhasil menguasai Banda dengan melakukan genosida terhadap penduduk asli Banda.
Jumlah penduduk asli Banda yang tadinya ada 15.000 jiwa menjadi tersisa 600 orang saja. Bahkan, banyak penduduk asli yang tersisa memilih untuk hengkang dari Banda.
Untuk menggarap perkebunan pala di Banda, VOC mengimpor buruh kebun dari daerah-daerah lain di Nusantara.
Baca juga: Bunyi Dentuman Keras dan Getaran bak Gempa Hebohkan Warga di Pulau Banda
Bersamaan dengan kekuasan VOC di pulau-pulau besar Banda, Inggris datang untuk mendirikan koloni di pulau-pulau terpencilnya, yaitu Pulau Run dan Ay, pada tahun 1616.
Mengetahui hal tersebut, VOC merasa terancam dan menganggap Inggris berupaya untuk memonopoli perdagangan pala serta mengusir VOC.
Belanda dan Inggris kemudian terlibat dalam pertempuran selama 50 tahun karena Belanda ingin sepenuhnya menguasai Kepulauan Banda, tapi masih ada Inggris di Pulau Run.
Sejak tahun 1621, Belanda telah mencengkeram 10 dari 11 pulau di Banda, kecuali Pulau Run.
Baca juga: Kanji Rumbi Kuliner Ramadhan Khas Aceh, Gunakan Banyak Rempah, Dipercaya Tingkatkan Imun Tubuh
Meski luas Niew Amsterdam 18 kali lipat dari Run, kesepakatan itu sangat menguntungkan Belanda. Penguasaan atas Run membuat Belanda akhirnya dapat menguasai seluruh Kepulauan Banda, satu-satunya kawasan penghasil pala di dunia kala itu.
Namun perbandingan Run dan Niew Amsterdam itu hanya berlaku di masa lalu.
Kala itu, hamparan tanah rawa di Niew Amsterdam memang tak menjanjikan apa-apa, tapi kini tempat itu berkembang menjadi Manhattan. Daerah yang dulunya hanya merupakan pos dagang bulu binatang itu kini menjelma menjadi salah satu kota paling maju di dunia.
Pulau itu adalah pusat ekonomi global yang berada di jantung New York City, megapolitan paling masyhur di Amerika Serikat.
Saat Manhattan menjadi kota penting dunia yang ditaburi pencakar langit, butik, kampus, serta restoran dan bar, Run hanya berisi segelintir sepeda motor dan dua sekolah setingkat SMP.
Saat Manhattan menjadi tanah harapan bagi jutaan imigran, Run tak lebih dari noktah kecil di dunia tanpa jaringan internet dan sebagian masyarakatnya bercita-cita melihat Jakarta.