JAMBI, KOMPAS.com - Bukit terjal menjadi benteng terakhir menuju hutan perawan. Di punggungnya terhampar kebun sawit berusia produktif.
Hampir separuh tanaman sawit di bukit ini adalah milik Haji Jaelani. Dari kebun itu, dia mengantongi uang belasan juta rupiah setiap bulan dan menyimpannya dalam tanah di pedalaman hutan.
Lebih dari satu dekade lalu, setiap mendapat uang dari menjual sawit dan karet, Jaelani menuju bukit tertinggi di tengah hutan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Jambi.
Baca juga: Perempuan Orang Rimba Keberatan, Rombongan Kunjungan Dadakan Mensos Risma Mau Ambil Foto
Dengan teliti, dia memilih tanah yang jauh dari aliran air ketika hujan, lalu mengubur uang puluhan juta rupiah dalam kantong plastik berwarna hitam.
Baca juga: 5 Orang Rimba Batal Nyoblos gara-gara Ketakutan dengan Pengukur Suhu Tubuh
Pada bagian atas kuburan uang itu, pria yang menerima penghargaan Kalpataru dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2006 ini membangun sudong atau pondok sementara tempat orang rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) tinggal.
Bangunannya terbuat dari atap terpal dengan lantai dari susunan kayu untuk memberi perlindungan kepada uang yang disimpan.
Dia menyimpan uang di dalam tanah selama 2,5 tahun.
Pertemuan Jaelani dengan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warung Informasi Konservasi (Warsi) membuat Jaelani mengenal bank.
Kala itu, Jaelani masih menyandang jabatan Tumenggung Air Hitam. Namanya masih Tarib. Namun, setelah memeluk Islam, dia memakai nama Jaelani sampai sekarang.
Setelah mengenal bank tempat menyimpan uang, lelaki yang berusia lebih dari 60 tahun, membongkar "tabungan "dalam tanah.
Pada penghujung tahun 1999, dia membawa uang dalam jumlah sangat banyak ke bank di Kota Bangko, Kabupaten Merangin. Saat dihitung jumlahnya mencapai angka Rp 1,5 miliar.
Namun, kala itu pihak bank menolak menyimpan uang Jaelani karena persyaratan untuk menyimpan uang di bank belum lengkap.
“Saya tidak punya kartu tanda penduduk (KTP) dan alamat rumah saya hutan. Maka, saya disuruh orang bank membawa uang itu pulang,” kata Jaelani saat ditemui Kompas.com di rumahnya, di Desa Air Panas, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi, pertengahan Mei.
Ekspresi kecewa terlihat pada air muka lelaki rimba peraih Kehati Award ini saat menceritakan peristiwa tersebut.
Dia menyayangkan pihak bank tidak memiliki belas kasih dan tega melihatnya harus menyimpan uang sebanyak itu di dalam tanah.
Tentu taruhannya nyawa, tidur di dalam hutan yang gelap dengan uang miliaran rupiah bersamanya.
Dengan rasa takut, dia membawa uangnya pulang dan kembali memasukkan uang miliaran rupiah itu ke dalam tanah.
Kali ini tidurnya menjadi tidak lelap. Sebab, kabar dirinya memiliki uang yang sangat banyak telah tersiar hingga ke orang-orang yang tinggal di kampung transmigrasi yang berada di kaki Bukit Duabelas.
Beberapa bulan setelah ditolak bank, tepatnya awal tahun 2000 ada orang yang menawarkan kebun sawit.
Tanpa berpikir panjang, dia langsung membelanjakan separuh uangnya, untuk membeli kebun tersebut.
Pria yang ahli obat-obatan tradisional ini juga membangun rumah di kampung, membaur bersama orang-orang transmigrasi.
Kemudian dia menjadi mualaf pada 2009 dan pada tahun yang sama, pemerintah menerbitkan KTP untuknya. Tumenggung Tarib mengganti namanya menjadi Jaelani.
Setelah memiliki KTP, Jaelani berangat umroh pada 2010 dan baru bisa mewujudkan keinginanya untuk melaksanakan ibadah haji pada 2012 bersama istri..
Setelah menetap di kampung, kebutuhan Jaelani pun terus bertambah. Berbeda ketika tinggal di hutan, yang bisa makan dari alam.
Sekarang kebutuhan hidup membengkak karena harus membayar listrik, pulsa, mengisi perabot rumah, dan memenuhi kebutuhan dapur selayaknya masyarakat umum.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.