“Kalau di hutan cuma butuh uang Rp 100.000, tapi kalau tinggal di dusun (kampung) bisa Rp 2 juta kita habis,” ucapnya dengan lirih.
Biaya hidup yang tinggi saat berada di permukiman membuat "tabungan tanah" Jaelani terkikis. Ditambah harga karet dan sawit merosot tajam.
Maka, pada 2014, Jaelani yang telah memiliki KTP dan rumah di kampung, serta sertifikat kebun sawit dan karet belasan hektar, kembali mendatangi bank.
Dia bermaksud meminjam uang untuk keperluan penghijauan hutan yang kritis karena deforestasi. Lelaki ini hendak menanam jernang dan tanaman obat yang nyaris punah.
“Sekali lagi saya ditolak bank karena tidak ada penjamin (orang yang dipandang kaya dan tinggal di kampung untuk menjamin Jaelani saat meminjam uang),” ujarnya.
Orang rimba tidak pernah main-main dengan orang atau lembaga yang mengerti baca tulis dan pemerintah.
Artinya, mereka tidak pernah berkhianat dalam perjanjian karena takut dihukum.
“Kami tidak pernah membuat utang, kalau tidak sanggup membayar,” kata Jaelani lagi.
Dia disarankan pihak bank untuk membawa orang desa atau transmigrasi sebagai penjamin.
Baru setelah ada penjamin, Jaelani mendapatkan pinjaman uang sebesar Rp 50 juta. Namun, dia harus menyerahkan sejumlah uang kepada penjamin sebagai ucapan terima kasih.
"Orang rimba belum dipercaya kalau menggunakan nama sendiri untuk meminjam uang maupun kredit motor. Harus pakai nama orang dulu baru bisa. Kalau memang pembayaran lancar, pinjaman berikutnya bisa atas nama orang rimba," katanya.
Tiga tahun setelah melunasi kredit, dia pun tidak lagi meminjam uang ke bank sampai sekarang.
Kendati demikian, istrinya memiliki rekening di bank hanya untuk keperluan menyimpan uang.
Selain Jaelani, ada Pengidas, orang rimba dari Kelompok Kedundong Mudo yang tergabung dalam usaha kerajinan tangan bentukan KKI Warsi yang juga pernah mengalami penolakan pihak bank.
Padahal, tangan terampil anak muda ini mampu membuat gelang dan kalung dari buah sebalik sumpah.
Untuk membuat kerajinan kalung sebalik sumpah, dibutuhkan ketelitian, kesabaran, dan waktu 2-3 pekan.
Kepiawaian lelaki berusia 21 tahun dan kelompoknya telah teruji. Saat pameran kerajinan tangan di Kota Sarolangun, semua produk usaha rumahan mereka ludes terjual.
Tidak hanya gelang dan kalung sebalik sumpah, ada juga tikar, ambung, dan tombak orang rimba yang sangat disukai masyarakat.
“Habis semua. Padahal mahal, satunya itu Rp 100.000. Semua orang suka dengan kerajinan tangan orang rimba,” kata Pengidas di kantor lapangan Warsi, Desa Bukit Suban.
Ia menceritakan kesulitan untuk meminjam uang ke bank.
Sebelum mendatangi bank, perajin gelang sebalik sumpah harus memiliki KTP.
Proses pembuatannya menurut mereka sangat sulit dan rumit.
Dari kediamannya di wilayah Kedundong Mudo, bagian tengah kawasan hutan TNBD, Pengidas berjalan kaki tiga jam ke kantor desa.
Kemudian pergi ke Kota Sarolangun menggunakan sepeda motor selama 4-5 jam.
Namun, pihak bank menolak karena Pengidas masih menjalankan tradisi melangun atau hidup berpindah-pindah saat ada kematian.
Tidak adanya rumah yang tetap membuat pihak bank tidak memproses pengajuan kreditnya.
“Kami ini memang pindah-pindah, tapi kalau lagi melangun saja. Berpindah pun sekarang hanya berputar-putar di kawasan TNBD inilah. Karena hutan sudah habis,” kata anak tertua dari tiga bersaudara ini.
Dirinya berharap pihak bank dapat membantu memulihkan ekonomi orang rimba yang terpukul karena pandemi.
Banyak orang rimba sekarang memilih membuat kerajinan tangan karena sudah mulai sulit mencari babi di dalam hutan. Harga babi di pasar pun terus mengalami penurunan.
Selama pandemi, pemerintah memang telah mengucurkan bantuan sosial tunai dari Kementerian Sosial.
KKI Warsi juga mengedukasi orang rimba untuk membuat kerajinan tangan dan memasarkan produk industri rumahan kepada masyarakat yang lebih luas.