Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Orang Rimba Ditolak Bank hingga Terpaksa Simpan Uang Rp 1,5 Miliar Dalam Tanah di Hutan

Kompas.com - 26/06/2021, 05:40 WIB
Suwandi,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

JAMBI, KOMPAS.com - Bukit terjal menjadi benteng terakhir menuju hutan perawan. Di punggungnya terhampar kebun sawit berusia produktif.

Hampir separuh tanaman sawit di bukit ini adalah milik Haji Jaelani. Dari kebun itu, dia mengantongi uang belasan juta rupiah setiap bulan dan menyimpannya dalam tanah di pedalaman hutan.

Baca juga: 10 Larangan bagi Orang Luar Saat Masuk Wilayah Orang Rimba, Dilarang Memotret Perempuan hingga Buang Air di Sungai

Lebih dari satu dekade lalu, setiap mendapat uang dari menjual sawit dan karet, Jaelani menuju bukit tertinggi di tengah hutan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Jambi.

Baca juga: Perempuan Orang Rimba Keberatan, Rombongan Kunjungan Dadakan Mensos Risma Mau Ambil Foto

 

Dengan teliti, dia memilih tanah yang jauh dari aliran air ketika hujan, lalu mengubur uang puluhan juta rupiah dalam kantong plastik berwarna hitam.

Baca juga: 5 Orang Rimba Batal Nyoblos gara-gara Ketakutan dengan Pengukur Suhu Tubuh

Pada bagian atas kuburan uang itu, pria yang menerima penghargaan Kalpataru dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2006 ini membangun sudong atau pondok sementara tempat orang rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) tinggal.

Bangunannya terbuat dari atap terpal dengan lantai dari susunan kayu untuk memberi perlindungan kepada uang yang disimpan.

Dia menyimpan uang di dalam tanah selama 2,5 tahun.

Pertemuan Jaelani dengan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warung Informasi Konservasi (Warsi) membuat Jaelani mengenal bank.

Kala itu, Jaelani masih menyandang jabatan Tumenggung Air Hitam. Namanya masih Tarib. Namun, setelah memeluk Islam, dia memakai nama Jaelani sampai sekarang.

Setelah mengenal bank tempat menyimpan uang, lelaki yang berusia lebih dari 60 tahun, membongkar "tabungan "dalam tanah.

Pada penghujung tahun 1999, dia membawa uang dalam jumlah sangat banyak ke bank di Kota Bangko, Kabupaten Merangin. Saat dihitung jumlahnya mencapai angka Rp 1,5 miliar.

Namun, kala itu pihak bank menolak menyimpan uang Jaelani karena persyaratan untuk menyimpan uang di bank belum lengkap.

“Saya tidak punya kartu tanda penduduk (KTP) dan alamat rumah saya hutan. Maka, saya disuruh orang bank membawa uang itu pulang,” kata Jaelani saat ditemui Kompas.com di rumahnya, di Desa Air Panas, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi, pertengahan Mei.

Ekspresi kecewa terlihat pada air muka lelaki rimba peraih Kehati Award ini saat menceritakan peristiwa tersebut.

Dia menyayangkan pihak bank tidak memiliki belas kasih dan tega melihatnya harus menyimpan uang sebanyak itu di dalam tanah.

Tentu taruhannya nyawa, tidur di dalam hutan yang gelap dengan uang miliaran rupiah bersamanya.

Dengan rasa takut, dia membawa uangnya pulang dan kembali memasukkan uang miliaran rupiah itu ke dalam tanah.

Kali ini tidurnya menjadi tidak lelap. Sebab, kabar dirinya memiliki uang yang sangat banyak telah tersiar hingga ke orang-orang yang tinggal di kampung transmigrasi yang berada di kaki Bukit Duabelas.

Beberapa bulan setelah ditolak bank, tepatnya awal tahun 2000 ada orang yang menawarkan kebun sawit.

Tanpa berpikir panjang, dia langsung membelanjakan separuh uangnya, untuk membeli kebun tersebut.

Pria yang ahli obat-obatan tradisional ini juga membangun rumah di kampung, membaur bersama orang-orang transmigrasi.

Kemudian dia menjadi mualaf pada 2009 dan pada tahun yang sama, pemerintah menerbitkan KTP untuknya. Tumenggung Tarib mengganti namanya menjadi Jaelani.

Setelah memiliki KTP, Jaelani berangat umroh pada 2010 dan baru bisa mewujudkan keinginanya untuk melaksanakan ibadah haji pada 2012 bersama istri..

Setelah menetap di kampung, kebutuhan Jaelani pun terus bertambah. Berbeda ketika tinggal di hutan, yang bisa makan dari alam.

Sekarang kebutuhan hidup membengkak karena harus membayar listrik, pulsa, mengisi perabot rumah, dan memenuhi kebutuhan dapur selayaknya masyarakat umum.

 

“Kalau di hutan cuma butuh uang Rp 100.000, tapi kalau tinggal di dusun (kampung) bisa Rp 2 juta kita habis,” ucapnya dengan lirih.

Diskriminasi industri keuangan

Biaya hidup yang tinggi saat berada di permukiman membuat "tabungan tanah" Jaelani terkikis. Ditambah harga karet dan sawit merosot tajam.

Maka, pada 2014, Jaelani yang telah memiliki KTP dan rumah di kampung, serta sertifikat kebun sawit dan karet belasan hektar, kembali mendatangi bank.

Dia bermaksud meminjam uang untuk keperluan penghijauan hutan yang kritis karena deforestasi. Lelaki ini hendak menanam jernang dan tanaman obat yang nyaris punah.

“Sekali lagi saya ditolak bank karena tidak ada penjamin (orang yang dipandang kaya dan tinggal di kampung untuk menjamin Jaelani saat meminjam uang),” ujarnya.

Orang rimba tidak pernah main-main dengan orang atau lembaga yang mengerti baca tulis dan pemerintah.

Artinya, mereka tidak pernah berkhianat dalam perjanjian karena takut dihukum.

“Kami tidak pernah membuat utang, kalau tidak sanggup membayar,” kata Jaelani lagi.

Dia disarankan pihak bank untuk membawa orang desa atau transmigrasi sebagai penjamin.

Baru setelah ada penjamin, Jaelani mendapatkan pinjaman uang sebesar Rp 50 juta. Namun, dia harus menyerahkan sejumlah uang kepada penjamin sebagai ucapan terima kasih.

"Orang rimba belum dipercaya kalau menggunakan nama sendiri untuk meminjam uang maupun kredit motor. Harus pakai nama orang dulu baru bisa. Kalau memang pembayaran lancar, pinjaman berikutnya bisa atas nama orang rimba," katanya.

Tiga tahun setelah melunasi kredit, dia pun tidak lagi meminjam uang ke bank sampai sekarang.

Kendati demikian, istrinya memiliki rekening di bank hanya untuk keperluan menyimpan uang.

Tak diberi pinjaman

Selain Jaelani, ada Pengidas, orang rimba dari Kelompok Kedundong Mudo yang tergabung dalam usaha kerajinan tangan bentukan KKI Warsi yang juga pernah mengalami penolakan pihak bank.

Padahal, tangan terampil anak muda ini mampu membuat gelang dan kalung dari buah sebalik sumpah.

Untuk membuat kerajinan kalung sebalik sumpah, dibutuhkan ketelitian, kesabaran, dan waktu 2-3 pekan.

Kepiawaian lelaki berusia 21 tahun dan kelompoknya telah teruji. Saat pameran kerajinan tangan di Kota Sarolangun, semua produk usaha rumahan mereka ludes terjual.

Tidak hanya gelang dan kalung sebalik sumpah, ada juga tikar, ambung, dan tombak orang rimba yang sangat disukai masyarakat.

“Habis semua. Padahal mahal, satunya itu Rp 100.000. Semua orang suka dengan kerajinan tangan orang rimba,” kata Pengidas di kantor lapangan Warsi, Desa Bukit Suban.

Ia menceritakan kesulitan untuk meminjam uang ke bank.

Sebelum mendatangi bank, perajin gelang sebalik sumpah harus memiliki KTP.

Proses pembuatannya menurut mereka sangat sulit dan rumit.

Dari kediamannya di wilayah Kedundong Mudo, bagian tengah kawasan hutan TNBD, Pengidas berjalan kaki tiga jam ke kantor desa.

Kemudian pergi ke Kota Sarolangun menggunakan sepeda motor selama 4-5 jam.

Namun, pihak bank menolak karena Pengidas masih menjalankan tradisi melangun atau hidup berpindah-pindah saat ada kematian.

Tidak adanya rumah yang tetap membuat pihak bank tidak memproses pengajuan kreditnya.

“Kami ini memang pindah-pindah, tapi kalau lagi melangun saja. Berpindah pun sekarang hanya berputar-putar di kawasan TNBD inilah. Karena hutan sudah habis,” kata anak tertua dari tiga bersaudara ini.

Dirinya berharap pihak bank dapat membantu memulihkan ekonomi orang rimba yang terpukul karena pandemi.

Hasil kerajinan tangan berupa kalung dan gelang sebalik sumpah produksi kelompok UMKM Orang Rimba binaan KKI WarsiSuwandi/KOMPAS.com Hasil kerajinan tangan berupa kalung dan gelang sebalik sumpah produksi kelompok UMKM Orang Rimba binaan KKI Warsi

 

Banyak orang rimba sekarang memilih membuat kerajinan tangan karena sudah mulai sulit mencari babi di dalam hutan. Harga babi di pasar pun terus mengalami penurunan.

Selama pandemi, pemerintah memang telah mengucurkan bantuan sosial tunai dari Kementerian Sosial.

KKI Warsi juga mengedukasi orang rimba untuk membuat kerajinan tangan dan memasarkan produk industri rumahan kepada masyarakat yang lebih luas.

 

Namun, mereka membutuhkan modal untuk meningkatkan produksi.

Setelah hutan dibabat

Manajer Komunikasi KKI Warsi, Sukma Reni, menuturkan, orang rimba yang tinggal di dalam hutan mempunyai kehidupan ekonomi cukup, bahkan boleh dibilang kaya dalam artian terpenuhi semua kebutuhan hidupnya.

Pengertian kaya di orang rimba jauh berbeda dengan kaya untuk orang luar.

Bagi orang rimba, kaya itu dengan terpenuhinya kebutuhan mereka, tersedia bahan pangan, dan jika membutuhkan bisa mengambilnya dengan mudah.

Dengan semakin menyempitnya hutan, orang rimba menjadi terpinggirkan.

Mereka terpaksa hidup "menumpang" dalam perkebunan sawit maupun hutan tanaman industri (HTI).

“Mereka tidak punya sumber daya yang bisa diakses dengan bebas. kebutuhan mereka tidak tersedia. ini yang paling memprihatinkan,” kata Reni.

Atas kesulitan orang rimba, Warsi melakukan advokasi dan pendampingan agar bisa hidup sesuai dengan adat budaya dan keinginan mereka atas masa depan.

Bagi mereka yang menetap di hutan, diberikan penguatan pengembangan ekonomi.

Contohnya pelatihan kecakapan hidup seperti produksi kerajinan tangan, sablon baju, dan budidaya jernang.

Reni mencontohkan Kelompok Gentar di Sako Nini Tuo, Desa Sungai Jernih Kecamatan, Muara Tabir Tebo, Kabupaten Teb, yang hidup dengan adat dan budaya mereka.

Gentar juga mulai melakukan budidaya jernang di dalam kawasan hutan TNBD.

Pendidikan yang dilakukan Warsi adalah pendidikan alternatif untuk membebaskan orang rimba dari buta aksara sehingga mereka bebas dari perlakuan tidak adil.

Kalau untuk pendidikan yang berjenjang karier, Warsi menjembatani orang rimba untuk sekolah formal.

Apakah ada orang rimba yang berhasil dengan sekolahnya sehingga bisa bekerja di instansi pemerintah? Jawabannya ada. Contohnya Budi yang jadi anggota TNI, lalu ada Besudut yang bekerja di kantor Kecamatan Tabir.

Orang rimba juga telah membentuk kelompok usaha rumahan, berupa kerajinan tangan dengan produk sebalik sumpah, tikar dari pelepah sawit, ambung dari rotan, dan kaus hasil sablon mereka sendiri.

Meskipun sudah membentuk kelompok UMKM, orang rimba belum mendapat kucuran dana hibah yang dijanjikan pemerintah.

Dari 12 juta penerima dari UMKM yang tidak memenuhi persyaratan bank atau bankable, kelompok orang rimba tidak termasuk di dalamnya.

“Kami berharap ada bantuan dari pemerintah kepada UMKM rintisan di kalangan orang rimba,” terang Reni.

Kerap kelaparan tanpa hutan

Sebaran orang rimba terbagi dalam dua lokasi, yakni orang rimba yang hidup di dalam kawasan hutan TNBD, lalu mereka yang tinggal dalam konsesi hutan tanaman industri (HTI) dan hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit.

Kawasan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas tempat hidup dan berkehidupan Orang RimbaSuwandi/KOMPAS.com Kawasan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas tempat hidup dan berkehidupan Orang Rimba

Populasi orang rimba menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2010 berjumlah 3.250 jiwa.

Namun berdasarkan survei KKI Warsi pada 2015 lalu, jumlahnya 4.065 jiwa.

Populasi orang rimba lebih dari 60 persen berada di wilayah konsesi HTI dan HGU perkebunan sawit yaitu 2.199 jiwa, kemudian di dalam kawasan TNBD sebesar 1.866 jiwa.

“orang rimba yang di luar hutan tidak memiliki persediaan pangan lokal seperti gadung, benor, dan ubi. Tetapi makan mi, beras, dan roti. Ini yang membuat mereka kelaparan apabila tidak memiliki penghasilan. Mereka sangat bergantung pada uang,” kata Reni.

Pada awal 2015 lalu, ada 11 orang rimba yang mati karena kelaparan. Sebab mereka tinggal di perkebunan perusahaan.

 

Di sana tidak tersedia makanan, seperti gadung, benor, dan umbi-umbian.

Secara ekonomi, orang rimba yang berada di luar hutan sangat rentan dan membutuhkan penguatan ekonomi dari pemerintah dan industri keuangan.

Sebab mereka sudah terlepas dari hutan dan bersaing dengan masyarakat umum untuk mencari penghidupan.

orang rimba telah menjadi korban perekonomian Indonesia.

Pada medio 1970 untuk kepentingan ekonomi kelompok transmigran, hutan orang rimba ditebang ratusan hektare. Selanjutnya, untuk perkebunan sawit dan HTI pada 1980 hutan habis dibabat.

Tutupan hutan orang rimba menyusut tajam selama dua dekade, yakni sekitar 130.308 hektare pada 1989, dan menghilang menjadi 60.483 hektare pada 2008.

“Kalau dihitung dari 1970, tentu angkanya lebih tinggi. Pada dua dekade ini, kehidupan orang rimba sangat sulit, karena mengubah kebiasaan yang awalnya ekonomi bergantung dengan hutan. Harus mencari penghidupan di luar hutan,” kata Reni.

Sejak hilangnya hutan menjadi HTI dan HGU perkebunan sawit, orang rimba hanya hidup dari berburu babi, mengumpulkan brondol sawit dan pinang, mencari petai, jengkol, sampai pengumpul barang bekas.

Bahkan sebagian dari mereka menjadi pengemis di desa, kota kabupaten, kota provinsi, serta terkadang juga sampai ke provinsi di luar Jambi seperti Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan. dan Bengkulu.

Label pengemis dan pencuri sawit

Aktivitas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari orang rimba, kata Reni, kerap kali menimbulkan permasalahan dan resistensi dari pihak perusahaan HTI dan perkebunan sawit serta masyarakat desa.

Tidak jarang pihak perusahaan dan masyarakat desa menyebut orang rimba sebagai penyakit sosial.

Mereka dianggap pencuri karena mengumpulkan brondol atau buah sawit yang jatuh saat panen.

Sedangkan bagi orang rimba mengumpulkan brondol sawit, barang bekas, maupun hasil pertanian lainnya adalah bagian dari aktivitas budaya meramu orang rimba.

Namun bagi pihak perusahaan dan masyarakat luar itu dianggap pencurian.

Adanya perbedaan budaya dan kesenjangan pengetahuan antara orang rimba dengan perusahaan dan masyarakat transmigrasi memunculkan konflik horizontal yang menelan korban jiwa.

Menurut catatan KKI Warsi, selama 20 tahun terakhir (1997-2017) terdapat 25 kali konflik antara orang rimba dengan masyarakat desa dan pihak perusahaan yang menewaskan sedikitnya 18 jiwa orang rimba.

Semua konflik bermula dari hilangnya sumber daya penghidupan orang rimba. Lantaran mereka menjadi pengemis dan pemungut barang bekas. Kondisi ini kerap gesekan yang berunjuk pada konflik.

Selama ekonomi orang rimba tidak membaik dan timpang, maka dampak sosial dengan masyarakat desa akan sulit dikendalikan.

Selanjutnya, Antropolog KKI Warsi, Robert Aritonang menyebutkan, penebangan hutan untuk perkebunan sawit, HTI, dan lahan transmigrasi membuat kehidupan ekonomi orang rimba mengalami perubahan.

Pada awalnya, orang rimba menerapkan sistem barter dan tidak bergantung dengan uang dan sistem ekonomi.

Kala itu, orang rimba sangat tertutup dan membatasi diri dari dunia luar hutan.

Namun pada 1970, ketika hutan habis dibabat, terjadi interaksi antara orang rimba dan orang luar.

Hal ini turut memengaruhi sumber ekonomi orang rimba yang bergantung pada hasil hutan terutama jernang, balam, rotan, madu, dan damar.

Sedangkan untuk konsumsi, orang rimba berburu dan bertanam ubi kayu. Semua itu semakin sulit dilakukan di hutan.

Selain orang rimba kesulitan beradaptasi dengan perubahan, mereka menerima tekanan diskriminasi dalam aspek ekonomi.

Bahkan harus menghadapi serbuan kapitalisme seperti perusahaan yang dimiliki konglomerat dari Astra, Sinarmas, Asian Agri, dan Royal Lestari Utama (RLU).

“Semua hutan dan lahan menjadi hak konsesi perusahaan. Jadi ini namanya diskriminasi dan penyingkiran secara masif dan terstruktur,” ucap Robert.

Dengan masuknya kapitalisme pada kelompok orang rimba, mereka dipaksa bergantung dengan uang.

Terutama sejak perusahaan membuka hutan dan masuknya transmigran.

Hutan orang rimba tidak mungkin dikembalikan sedia kala, karena telah berubah menjadi perkebunan sawit dan akasia.

Pilihan orang rimba agar tetap mampu bertahan adalah pertanian.

“Ini butuh perubahan budaya. Dalam prosesnya sangat membutuhkan dukungan modal dari pemerintah dan pihak perusahaan agar orang rimba mampu beradaptasi jadi petani seperti masyarakat umum,” kata Robert.

Untuk saat ini, masih sulit menghimpun permodalan untuk mengembangkan ekonomi orang rimba melalui koperasi atau lembaga keuangan lainnya.

 

Sebab, perputaran uang di kelompok orang rimba masih sangat kecil. Untuk membeli kebutuhan sehari-hari saja, mereka sangat kesulitan.

Makanya sebagian besar orang rimba tercatat sebagai penerima program Bantuan Sosial Tunai (BST) dari Kementerian Sosial.

Deretan persoalan ekonomi orang rimba seharusnya menjadi prioritas industri keuangan agar mereka mampu bersaing dan berdiri di kaki sendiri.

Sebaliknya perbankan tetap setia dengan kehati-hatian dan memandang orang rimba belum bankable.

Hal ini memperlebar jurang perbedaan antara orang rimba dengan masyarakat umum dalam mengakses sektor keuangan.

Edukasi OJK

Juru Bicara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Perwakilan Jambi, Agus menjelaskan, perbankan memiliki standar untuk menyalurkan bantuan modal ke masyarakat.

Dalam kasus orang rimba, ada banyak faktor yang membuat perbankan mengategorikan belum bankable.

OJK terus mengedukasi masyarakat untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan.

Untuk Jambi, angkanya lebih rendah dibanding rata-rata nasional untuk indeks literasi dan iklusi keuangan sesuai survei pada 2019 lalu yakni 38,03 persen.

Sementara Jambi untuk indeks literasi keuangan berada di angka 35,17 persen.

Sedangkan inklusi keuangannya berada di angka 64,83 persen dan rata-rata nasional di angka 76,19 persen.

“Dari angka itu dapat kita analogikan, jika dalam 100 orang di Jambi, baru 35 orang yang mengerti terkait produk dan jasa keuangan,” kata Agus.

Untuk menjangkau orang rimba, lembaga keuangan di Jambi melalui Bank Jambi telah melakukan edukasi menabung ke kelompok orang rimba, yakni dengan membuka rekening pelajar orang rimba.

“Sejauh ini, baru edukasi menabung ke pelajar yang dilakukan, untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan bagi orang rimba,” ucap Agus.

Orang rimba telah mengalami tekanan ekonomi yang berat, setelah kehilangan hutan dan semakin kuat pada masa pandemi.

Orang rimba secara ekonomi telah mendapatkan diskriminasi sekaligus tengah berhadap-hadapan dengan kapitalisme dan menghadapi perubahan budaya ke pertanian.

Suntikan modal menjadi kunci bagi orang rimba untuk tetap bertahan tanpa hutan di masa sekarang dan mendatang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jelang Putusan MK, Sudirman Said: Apa Pun Putusannya, Hakim Akan Beri Catatan Penting

Jelang Putusan MK, Sudirman Said: Apa Pun Putusannya, Hakim Akan Beri Catatan Penting

Regional
Isak Tangis Keluarga di Makam Eks-Casis TNI Korban Pembunuhan Serda Adan

Isak Tangis Keluarga di Makam Eks-Casis TNI Korban Pembunuhan Serda Adan

Regional
Kecelakaan Maut di Wonogiri, Pengendara Motor Jatuh Sebelum Ditabrak Truk Pengangkut BBM

Kecelakaan Maut di Wonogiri, Pengendara Motor Jatuh Sebelum Ditabrak Truk Pengangkut BBM

Regional
Kaget Ada Mobil Tiba-tiba Putar Arah, Pelajar SMA di Brebes Tewas Terlindas Truk

Kaget Ada Mobil Tiba-tiba Putar Arah, Pelajar SMA di Brebes Tewas Terlindas Truk

Regional
Lebih dari Setahun, “Runway” Bandara Binuang Rusak Akibat Tanah Amblas

Lebih dari Setahun, “Runway” Bandara Binuang Rusak Akibat Tanah Amblas

Regional
Waspada Banjir dan Longsor, BMKG Prediksi Hujan Deras di Jateng Seminggu ke Depan

Waspada Banjir dan Longsor, BMKG Prediksi Hujan Deras di Jateng Seminggu ke Depan

Regional
Harus Alokasi Hibah Pilkada, Aceh Barat Daya Defisit Anggaran Rp 70 Miliar

Harus Alokasi Hibah Pilkada, Aceh Barat Daya Defisit Anggaran Rp 70 Miliar

Regional
2 Eks Pejabat Bank Banten Cabang Tangerang Didakwa Korupsi Kredit Fiktif Rp 782 Juta

2 Eks Pejabat Bank Banten Cabang Tangerang Didakwa Korupsi Kredit Fiktif Rp 782 Juta

Regional
Perbaikan Jembatan Terdampak Banjir di Lombok Utara Jadi Prioritas

Perbaikan Jembatan Terdampak Banjir di Lombok Utara Jadi Prioritas

Regional
PKS Usulkan Anggota DPR Nasir Djamil Jadi Cawalkot Banda Aceh

PKS Usulkan Anggota DPR Nasir Djamil Jadi Cawalkot Banda Aceh

Regional
Tak Terima Ibunya Dihina, Pria di Riau Bunuh Istrinya

Tak Terima Ibunya Dihina, Pria di Riau Bunuh Istrinya

Regional
Sambut Indonesia Emas 2045, GP Ansor Gelar Acara Gowes Sepeda Jakarta-Bogor

Sambut Indonesia Emas 2045, GP Ansor Gelar Acara Gowes Sepeda Jakarta-Bogor

Regional
Pengadaan Kapal Fiktif Rp 23,6 Miliar, Pengusaha Cilegon Divonis 4 Tahun Penjara

Pengadaan Kapal Fiktif Rp 23,6 Miliar, Pengusaha Cilegon Divonis 4 Tahun Penjara

Regional
5 Pemandian Air Panas Magelang, Ada yang Buka 24 Jam

5 Pemandian Air Panas Magelang, Ada yang Buka 24 Jam

Regional
Terduga Pelaku Pembunuhan Karyawan Toko Pakaian Asal Karanganyar Belum Tertangkap

Terduga Pelaku Pembunuhan Karyawan Toko Pakaian Asal Karanganyar Belum Tertangkap

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com