YOGYAKARTA,KOMPAS.com-Suasana pagi di Padukuhan Potrobayan, Kalurahan Srihardono, Kapanewon Pundong, Bantul, Yogyakarta tampak bersih dan asri.
Sejak beberapa hari terakhir warga sekitar membersihkan Monumen Gempa 2006 untuk persiapan mengenang 15 tahun lalu gempa yang meluluhlantakkan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan sebagian Jawa Tengah.
Di Padukuhan Potrobayan RT 03 berdiri monumen mengenang gempa bumi yang merenggut ribuan nyawa dan menghacurkan ribuan rumah.
Dari data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bantul,jumlah korban meninggal di wilayah Bantul ada 4.143 korban, dengan jumlah rumah rusak total 71.763, rusak berat 71.372, rusak ringan 66.359 rumah.
Total korban gempa DIY dan Jawa Tengah bagian selatan seperti di Klaten tercatat 5.782 lebih orang meninggal dunia, 26.299 lebih luka berat dan ringan, 390.077 lebih rumah roboh akibat gempa waktu itu.
Baca juga: Mengenang Gempa Yogya dengan Berkunjung ke Monumen Gempa di Bantul
Monumen didirikan sekitar 400 meter dari tempuran Sungai Opak dan Oya, di bawahnya ditengarai sebagai pusat gempa.
Monumen dibangun tepat 10 tahun terjadinya gempa bumi yakni 2016 lalu.
Tahun ini, rencananya warga Bantul akan mengenang 15 tahun gempa bumi. Ilalang yang tumbuh di sekitar monumen sudah dibersihkan oleh warga sejak sepekan terakhir.
"Sudah sejak hari Minggu (23/5/2021) mulai dibersihkan," kata Suwarno (54) saat ditemui Kompas.com di rumahnya hanya beberapa meter dari monumen, Selasa (25/5/2021).
Monumen ini memang terletak belasan kilometer dari Kota Bantul ini cukup asri, karena terdengar suara air dari sungai yang terletak tepat di belakang monumen.
Monumen terdiri dari satu tugu terletak di tengah merupakan prasati yang diandangani oleh Kepala BNPB waktu itu Willem Rampangilei.
Lalu, ada tiga batu prasasti yang ditandangani Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Bupati Bantul Periode 2015-2020 Suharsono, dan Rektor UPN Veteran Yogyakarta Sari Bahagiarti K.
"Banyak yang datang ke sini, seperti orang bersepeda, atau saudara yang dari jauh menyempatkan melihat monumen, sempat ramai saat ada off-road di sekitar sungai," kata Suwarno.
Suwarno sendiri tinggal di sekitar monumen sejak 10 tahun lalu. Sebelumnya, ia tinggal di Kalurahan Canden, Kapanewon Jetis, Bantul.
Dia dan keluarga juga merasakan dahsyatnya gempa bumi 2006 lalu. Masih tersimpan erat dalam benaknya gempa berkekuatan 5,9 SR mengguncang rumahnya sekitar pukul 05.55 WIB.
Saat itu dirinya sedang persiapan doa pagi, rutinitas yang biasa dilakukan bersama istri dan kedua anaknya di ruang tengah rumahnya di Canden.
Saking dahsyatnya gempa, dirinya dan keluarga tidak bisa keluar rumah saat getaran dari dalam tanah dirasakannya. Meski rusak parah, beruntung mereka berempat berhasil menyelamatkan diri.
Saat sampai di luar rumah, hanya debu yang terlihat, dan suara minta tolong dari para tetangganya.
"Manusia tidak sekuat apa yang dipikirkannya sehebat apapun manusia tetap kalah dengan alam," ucap dia
"Kita harus kembali ke penciptaa-Nya enggak boleh sombong," kata Suwarno.
Baca juga: 14 Tahun Gempa Yogya, Gotong Royong Jadi Modal untuk Bangkit
Dukuh Potrobayan Sayudi menceritakan, di wilayahnya dari jumlah penduduk saat 2006 ada 638 orang, ada 13 orang meninggal, dan 75 luka berat.
Waktu itu Sayudi baru bangun saat gempa mengguncang, dan lari bersama anak laki-lakinya. Melihat rumahnya roboh, waktu itu masih belum menyadari terjadi gempa. Saat itu dirinya lari ke rumah orang tuanya. Beruntung, waktu itu kedua orangtuanya selamat. Termasuk keluarganya tidak ada yang menjadi korban meninggal dunia.
Setelah memastikan seluruh keluarganya selamat, Dukuh yang menjabat sejak tahun 1990 itupun bergegas mengecek warganya. "Setelah melihat (rumah) yang lain ternyata semuanya sama," kata Sayudi saat ditemui di rumahnya.
Dari 198 rumah yang berdiri waktu itu di wilayah Potrobayan, hanya ada 4 rumah rusak ringan, lainnya rusak berat dan roboh. Sebagian besar roboh saat gempa susulan yang terus mengguncang saat itu. Rumah yang awalnya hanya retak, saat munculnya gempa susulan pun roboh. Warga saat itu tinggal di tenda ataupun penutup seadanya.
Untuk warga yang selamat, meninggal maupun luka dibawa ke salah satu kantor yang berada di Padukuhan Potrobayan. Suasana gaduh saat itu, sebagian warga lain mempersiapkan penguburan 13 warga yang meninggal dunia, mereka dikubur dalam satu liang dengan lebar sekitar 12 meter di Tempat Pemakaman Umum.
Usia yang meninggal pun bervariasi dari paling muda bayi 1,5 bulan hingga orang tua usia di atas 70 tahun.
"Sebenarnya beberapa hari setelah gempa ada warga terutama yang sepuh meninggal dunia, tetapi bukan korban gempa. Mungkin mereka tertekan ya melihat situasi kala itu," kenang Sayudi
Pascagempa, selama hampir 5 bulan, warga mendengar suara dentuman seperti suara meriam. Selain itu, sebagian besar semua sumur di wilayah Potrobayan kering. Warga lalu mengebor sumur untuk mendapatkan air bersih.
"Suara dentuman semakin lama semakin mengecil," kata dia.
"Dulu masih ada relawan pun kadang mereka berlari setelah mendengarkan dentuman," ucap Sayudi.
Menurut dia, banyak yang bisa dipetik dari peristiwa guncangan 57 detik itu, di antaranya warga semakin guyup, dalam membangun rumah pun semakin kokoh. Saat ini warga membangun rumah menggunakan cor dan besi.
"Warga di sini saat bangun rumah sekarang memakai besi cor, dulu ndak ada cuma tumpukan batu dikasih semen gitu," ucap dia
Meski sempat menjadi pusat gempa, namun pendatang di Padukuhan Potrobayan tergolong banyak. Sejak beberapa tahun terakhir, ada 7 kepala keluarga yang berasal dari luar kota pun pindah ke Potrobayan.
Kepala Pelaksana BPBD Bantul Dwi Daryanto mengatakan, pihaknya terus berupaya memberikan edukasi kepada masyarakat untuk mengetahui potensi bencana tidak hanya gempa bumi.
Menurut dia, gempa bumi tidak bisa diprediksi jangka waktunya, namun kemungkinan masih bisa berulang. Apalagi patahan di Bantul ada beberapa yang berpotensi menyebabkan gempa bumi.
Pihaknya terus berupaya meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menghadapi bencana dengan Desa Tangguh Bencana. Seluruh desa di Bantul sudah menjadi Desa Tangguh Bencana.
"Bencana di Bantul tidak hanya pusatnya di Sesar Opak 2006 tetapi rekahan yang berpotensi di Bantul. Sehingga perlu terus didorong pelatihan kebencanaan secara mandiri dan dilingkungan," kata Dwi.
Rencananya tanggal 27 Mei akan dilakukan refleksi 15 tahun gempa bumi di DIY, yang akan dihadiri beberapa tokoh, seperti mantan Bupati Bantul tahun 2006 Idham Samawi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.