Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kunjungi Warga Ramunia, Djarot: Saya Itu Parhobas Kalian...

Kompas.com - 28/11/2019, 07:13 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

MEDAN, KOMPAS.com - Debat terakhir pemilihan Gubernur Sumut pada pertengahan Juni 2018 berakhir panas.

Pasalnya, waktu itu kandidat gubernur Edy Rahmayadi (kini Gubernur Sumut) meradang gara-gara pernyataan rivalnya Djarot Saiful Hidayat soal konflik tanah di Desa Perkebunan Ramunia, Kecamatan Pantailabu, Kabupaten Deliserdang.

Edy menyebut hanya orang Sumut yang tahu masalah di Ramunia. Menurutnya, tanah tersebut milik TNI.

Tak mau jadi bulan-bulanan, saat itu Djarot membawa Open Manurung, warga setempat yang menjadi korban perampasan dan kriminalisasi aparat.

Jauh sebelum Djarot menghadirkannya sebagai saksi, pada 2015, dia sudah aksi menginap di DPRD Sumut. Ketika itu, Edy menjadi Panglima Kodam 1 Bukit Barisan.

Waktu berlalu, Djarot kini menjadi anggota Komisi 2 DPR RI dari PDI Perjuangan. Dia mendatangi lagi warga Ramunia untuk menepati janji kampanye-nya menyelesaikan persoalan rakyat.

Puluhan warga mewakili 112 Kepala Keluarga yang belum menerima ganti rugi sudah menunggunya.

Begitu melihatnya, Open Manurung langsung mengajak meninjau tanah warga yang kini dikuasai tentara, kondisinya di pagar beton dan di atas pintu gerbang tertulis Demplot Pertanian Kodam 1/BB.

Pintu pagar dibuka, Djarot diikuti para warga masuk. Mereka menunjukkan tanah mereka yang hilang, listrik yang dipadamkan sejak 2015, dan akses jalan yang dibatasi dan dipersulit.

Baca juga: Djarot Heran Ahok Diminta Mundur dari PDI-P Setelah Jabat Komisaris Pertamina

Ganti rugi lahan

 

Open Manurung menceritakan, luas lahan seluruhnya 200-an hektar. Warga yang rela diganti rugi Pusat Koperasi Angkatan Darat (Puskopad) Kodam 1/BB sudah 80 persen, sisanya masih bertahan dalam perjuangan yang melelahkan.

"Kami sudah capek, setahun ini kami diam, gak ngerti mau ke mana. Cuma Pak Djarot-lah yang kami harapkan membawa persoalan ini ke ranah hukum," kata Open, Rabu (27/11/2019) petang.

"Ya, ya... Makanya saya bilang, dari pada kamu jauh-jauh datang ke Jakarta, mending saya yang datang ke sini. Kenapa, karena saya pelayan bapak dan ibu. Saya itu parhobas (pembantu dalam istilah Suku Batak, Red) kalian, makanya saya datang..." kata Ketua DPP PDI Perjuangan itu yang disambut tawa warga.

"Jangan mau dikutip-kutip oleh calo-calo, udah susah dikutipin lagi, gak boleh... Pokoknya ada datanya lengkap, bisa dibuktiin, dan menjadi hak ibu-bapak, kita perjuangkan," sambungnya yang langsung diaminkan warga. 

Mantan gubernur DKI Jakarta ini mengajak warga untuk sabar dan tidak melakukan tindakan anarkis karena berada di negara hukum.

Setiap persoalan bisa diselesaikan dengan baik-baik. Sedang asyik berbincang-bincang, datang Prajurit Kepala Juanda yang mengaku sedang piket menjaga lahan.

Kalau ada yang ingin ditanyakan atau butuh informasi, dia mengarahkan Djarot mendatangi langsung Puskopad.

"Kami cuma berdua yang menjaga, kami gak tau apa-apa," kata Juanda.

Baca juga: Djarot: Wacana Perubahan Masa Jabatan Presiden Membahayakan 

Soal relokasi

Usai mendengar keluhan warga, kepada wartawan Djarot mengatakan, masalah lahan Ramunia adalah persoalan lama yang sampai hari ini belum selesai tuntas. 

Untuk mengetahui akar permasalahan, dia merasa harus melihat, merasakan dan mendengar langsung.

Didampingi dua mantan anggota DPRD Sumut yaitu Sutrisno Pangaribuan dan Brilian Moktar, Djarot menampung semua keluh-kesah dan harapan.

Menurut pria ramah itu, kasus Ramunia bisa diselesaikan dengan mudah, caranya dengan buka-bukan mencari solusi dan berkoordinasikan dengan pihak-pihak pengambil keputusan seperti Puskopad, BPN, dan investor yang disebut-sebut bernama Sriwijaya Grup.

Kalaupun akhirnya direlokasi, warga menerimanya, namun izinkanlah sebelum ada penyelesaian warga tetap bercocok tanam. 

"Basic mereka petani, harus tetap difungsikan, itu pekerjaan mulia. Kalau diganti rugi, gantilah yang sesuai supaya mereka bisa beli lahan, bertani lagi. Saya bilang, saya akan bela yang benar, bukan yang bayar. Saya ingatkan juga, jangan ada yang mempolitisasi, memanfaatkan, bahkan mencari untung dari masalah rakyat," tegasnya. 

Baca juga: Djarot: Lem Aibon di RAPBD DKI Bukan Semata Kesalahan Anies

Bekas peninggalan Belanda

Dari penuturan warga, diketahui yang mereka kuasai dan usai sebagai warisan turun temurun adalah bekas peninggalan Belanda yang dulunya disebut Deli Maatschappij.

Perusahaan yang didirikan Jacob Nienhuys dan Peter Wilhelm Janssen pada 1869 bergerak dibidang budidaya tembakau dengan konsesi untuk Kesultanan Deli di Indonesia. Sebesar 50 persen dari saham Deli Maatschappij diberikan untuk Nederlandsche Handel-Maatschappij.

Pada abad ke-19, perusahaan ini mengeksploitasi lahan seluas 120.000 hektar. Dampaknya terlihat dari semakin berkembangnya Kota Medan. Bekas kantor pusat Deli Maatschappij sekarang menjadi kantor gubernur Sumut.

Pada 1954, berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 8 tahun 1954, Asisten Wedana menerbitkan Kartu Tanda Pendaftaran sebagai Pemakai Tanah Perkebunan kepada warga. Pasca nasionalisasi di 1962, N.V.Matshjapai menjadi kebun PPN-1.

Pada 1963, terbit Hak Guna Usaha (HGU) PT Karya Bumi oleh Menteri Pertanian dan Agraria berdasarkan SK Nomor: 11/26/Ka/63 tertanggal 30 September 1963 seluas 738 hektar lebih di Desa Ramunia 1. Sampai 1989, lahan ini tidak pernah didaftarkan sehingga tanahnya tetap dikuasai langsung negara.

Baca juga: Djarot Sebut Kesalahan Input APBD DKI Bukan karena Sistem, melainkan SDM yang Bodoh

Awal mula konflik warga dengan TNI

Konflik dengan masyarakat dimulai pada 1966 dengan masuknya PT Gelorata ke tanah warga Ramunia. Petugas perkebunan mengusiri warga yang bermukim dan bersawah di atas tanah perkebunan kelapa.

Perampasan dan penggusuran terus berlangsung hingga 1991, bersamaan dengan pemaksaan oleh aparat TNI agar warga mau menyerahkan surat atas tanah (KRPT). 

PT Gelorata pada 1984, menyerahkan arealnya seluas 400 hektar lebih kepada Kodam 1/BB untuk dijadikan areal pemukiman 100 KK purnawirawan ABRI.

Pada 1 Maret 1993, Badan Pertanahan Nasional menerbitkan HGU Nomor: 3/HGU/BPN 93 kepada PUSKOPAD seluas 575 hektar-an sampai 2023 di Desa Ramunia 1, Kecamatan Pantailabu, Kabupaten Deliserdang. 

Di 1997, Puskopad dan para purnawirawan yang bermukim di Ramunia menerima ganti rugi seluas 400 hektar dari Angkasa Pura untuk pembangunan Bandara Kualanamu Internasional. Sejak menerima uang ganti rugi, lahan dibiarkan terlantar.

Pada 2000 sampai 2011, kepala Desa Perkebunan Ramunia mengeluarkan surat keterangan dan pengakuan hak atas tanah kepada masyarakat yang menerangkan bahwa tanah tersebut merupakan tanah negara yang ditelantarkan sejak 1998, serta tidak dalam sengketa dengan pihak lain.

Akhir 2013 sampai 2014, masyarakat diintimidasi sejumlah preman untuk menerima uang ganti rugi sebesar Rp10.000 per meter.

Warga menolak harga tersebut, ujug-ujug, Puskopad mendirikan posko pembayaran kompensasi kemudian menempatkan pasukan organiknya.

Puncaknya pada 28 Januari 2015, Puskopad/Puskopkar mengeluarkan surat edaran kepada seluruh warga Desa Perkebunan Ramunia untuk segera mendaftarkan diri agar menerima uang ganti rugi sampai batas waktu 14 Februari 2015. Jika tidak berkenan, lahan garapan dianggap sudah bersih dari penggarap. 

Baca juga: Djarot Kenang Pengalamannya Diberikan Koleksi Buku oleh BJ Habibie

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com