Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mudik, Saatnya Nostalgia dengan Tiwul

Kompas.com - 09/06/2019, 09:30 WIB
Markus Yuwono,
Caroline Damanik

Tim Redaksi

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Mudik menjadi salah satu momentum mengingat tentang masa kecil di kampung halaman. Tak hanya bernostalgia tentang tempat tinggal, tetapi juga makanan khas yang menjadi salah satu yang diburu pemudik.

Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, tiwul dan gatot menjadi salah satu incaran pemudik untuk bernostalgia dengan makanan tradisional.

Salah seorang warga Semarang, Jawa Tengah, Endah Purnawati (61) mengaku sudah sejak puluhan tahun meninggalkan kampung halamannya dan tinggal di Jalan Indraprasta, Semarang.

Setiap tahun dirinya menyempatkan diri mudik, selain bersilaturahmi dengan keluarga di Gunungkidul. Dirinya ingin mengulang memorinya saat masa kecil dengan makanan tradisional yang dulu hampir setiap hari dikonsumsi.

"Tiwul waktu kecil saya biasa makan. Tetapi sejak tidak tinggal di sini menjadi jarang, karena sulit untuk ditemui disana (semarang)," ujarnya ditemui seusai membeli tiwul di toko oleh-oleh Pak Lambang, Jalan Baron, Wonosari, Sabtu (8/6/2019).

Menurut dia, makanan berbahan baku tepung ketela ini menjadi bagian sejarah hidupnya saat tinggal di Gunungkidul beberapa puluh tahun silam.

Dulu tiwul menjadi makanan pokok pengganti beras, karena saat itu beras cukup sulit didapatkan di era 60-an hingga tahun 70-an. Tiwul dikonsumsi dengan ikan asin atau lauk seadanya.

Namun saat ini dengan perkembangan yang ada tiwul dibuat untuk camilan dengan varian berbagai macam. Mulai tiwul dengan rasa manis, coklat, nangka hingga campuran keju. Sebenarnya dia sudah mencoba untuk membuat tiwul sendiri di rumah dengan membeli tiwul instan, namun tidak se-otentik dulu.

"Saat ini sudah berubah, tiwul untuk cemilan. Tetapi untuk nostalgia sudah cukuplah," ujarnya.

Hal serupa juga dialami Andi Endarto (40) warga Bekasi, Jawa Barat. Mudik salah satu cara mengenang masa kecil dengan makanan rumahan, seperti sayur lombok ijo dan belalang.

Dulu saat masih sekolah di Gunungkidul, saat musim belalang, dirinya selalu mencari untuk lauk.

"Rumah selalu mengingatkan tentang masa kecil yang indah. Yang dikangeni itu, di desa semuanya guyub rukun. Selain itu makanannya, selain makanan rumah, saya selalu menyempatkan diri membeli tiwul manis untuk cemilan, selain membuat sendiri tiwul untuk makanan," ucap pemudik yang pulang ke Desa Playen, Kecamatan Playen ini.

Pemilik toko oleh-oleh, Agus Lambang Kristianto mengatakan selama arus mudik dan wisatawan libur lebaran saat ini omset penjualan tiwul meningkat 3 kali lipat dibandingkan hari biasa.

Untuk hari biasa, rata-rata hanya 20 sampai 30 bungkus, untuk hari libur akhir pekan rata-rata 50 sampai 60 bungkus. Saat libur lebaran bisa mencapai 150 bungkus.

Tiwul manis yang awalnya hanya memiliki rasa gula jawa dibuatnya memiliki berbagai rasa yang berbeda. Mulai dari rasa keju, nangka, pandan bahkan tiwul rasa coklat. Selain itu, pemudik juga membeli tiwul instan yang bisa dibuat di rumah saat kembali ke kota.

"Selain wisatawan, pemudik juga ingin bernostalgia dengan makanan tradisional seperti tiwul dan gatot," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com